BAB 6
Langit sudah gelap ketika Desi tiba di rumah sekitar pukul 19.00. Kemacetan Kota Jakarta menjebaknya hingga ia bosan dan kakinya pegal. Masih kesal dengan kejadian di ruang kerja Mike, Desi melangkah masuk ke rumah sambil mengentak kaki dan geram di dada yang tak mampu ia luapkan. Ia pun bergegas menuju kamar tidur, lalu membanting pintu sekeras mungkin demi melampiaskan amarahnya.
Setelah meletakkan tas kerja di tempat tidur begitu saja, Desi langsung berbaring dengan perasaan yang tidak keruan. Entah mimpi apa ia semalam sampai harus berhadapan dengan pria seperti Mike. Desi bahkan tak menyangka akan melewati hari ini dengan berbagai kejadian yang membuatnya makin enggan untuk membuka hati untuk pria.
Baru saja Desi berniat mencoba untuk terbuka pada pria, ia malah harus berurusan dengan dua pria menyebalkan, agresif, dan menyeramkan. Meskipun salah satu di antara kedua pria itu—Mike—memiliki ketampanan yang mampu meluluhkan serta menghancurkan wanita dalam sekejap, tetap saja Desi merasa kewalahan.
Tak tahan menahan emosi dalam dada, Desi segera merogoh tas dan mengambil ponselnya. Ia harus bicara dengan Maira atau Sasha. Setidaknya, ia harus mencari bantuan dan meminta salah satu dari mereka untuk menggantikan posisinya di acara Zyro.
Desi mulai mencari nama Maira di daftar panggil dan langsung menghubungi wanita itu. Lebih dari tiga kali ia mencoba menghubungi Maira, tetapi sepertinya wanita itu sedang sibuk sehingga tidak bisa menjawab panggilannya. Akhirnya, Desi memutuskan untuk menghubungi Sasha. Nada sambung yang monoton, mengalun sejenak di telinganya sebelum berhenti begitu saja. Ia kembali mencoba sekali lagi, dan berharap agar Sasha mau menjawabnya kali ini.
“Halo, Des,” jawab Sasha cepat, terdengar tergesa-gesa.
“Hai, Sha. Sorry gue telepon. Lu lagi sibuk nggak?” tanya Desi.
“Nggak. Kenapa, Des?” tanya Sasha datar.
“G-gue mau cerita sesuatu, Sha,” jawab Desi sembari mengatur tarikan napasnya yang pendek karena luapan emosi yang tertahankan.
“Ada apa?” tanya Sasha tenang. Desi bingung harus cerita dari mana. Di satu sisi, Desi tidak ingin merepotkan temannya dengan setiap masalah yang ia hadapi, yang seharusnya bisa ia selesaikan sendiri. Namun di sisi lain, ia benar-benar harus cerita. Desi butuh masukan, lebih tepatnya bantuan agar bisa terlepas dari Mike.
“Sha, Lu bisa gantiin gue untuk hari Sabtu ini, nggak?” tanya Desi ragu sambil terus berharap.
“Sabtu? Bukannya lu harus ngurusin Zyro?” tanya Sasha balik.
“I-iya sih. Masalahnya … gimana, ya? Gue bingung ceritainnya. Tapi, lu bisa nggak?” tanya Desi lagi, sedikit memaksa.
“Ada apa, sih?” tanya Sasha penasaran.
“G-gue bingung mau cerita dari mana. Intinya … gue nggak yakin acara ini akan berjalan lancar kalau gue yang handle,” ungkap Desi gugup. Suasana tiba-tiba hening seketika. Ia menunggu respons Sasha, sambil berharap agar wanita itu mau menggantikannya.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Sasha, seperti tahu kalau ada sesuatu yang berusaha ia sembunyikan.
Desi terdiam sesaat sembari menyusun kata-kata yang tepat agar Sasha bisa mengerti kemelut yang ia hadapi. Sasha menunggu dengan sabar sambil sesekali berbicara dengan seseorang di balik sana. Di saat Desi masih berkutat dengan pikirannya, ia bisa mendengar pergerakan Sasha yang beranjak ke suatu tempat yang lebih sepi agar bisa fokus berbicara dengannya.
“Des, lu masih di sana, ‘kan?” tanya Sasha lembut.
“Iya, Sha,” jawab Desi lemah.
“Gimana? Ada masalah apa memangnya?” tanya Sasha tenang.
“Tadi … tadi waktu gue selesai meeting … itu owner-nya. Aduh! Gue bingung, Sha,” jelas Desi frustrasi sembari menghela napas kesal.
“Owner?” tanya Sasha lagi.
“I-iya. Tadi … gue ‘kan rapat sama jajaran manajer dan owner. Terus tiba-tiba dia … dia … aduh, gimana ceritainnya, ya?” ungkap Desi yang malah bingung dan gugup untuk bercerita.
Sesungguhnya, Desi malu kalau Sasha tahu tentang kejadian hari ini, tetapi ia tak mau bertemu lagi dengan Mike. Meminta Sasha menggantikan dirinya adalah cara terbaik agar terlepas dari pria itu. Dan setidaknya, ia harus jujur pada Sasha agar sahabatnya itu tahu akar permasalahan yang ia alami.
“Dia nyakitin lu?” tanya Sasha terdengar sedikit khawatir dan mulai menebak-nebak apa yang mungkin terjadi pada dirinya.
“B-bukan! Jadi begini … owner itu namanya Mike Larosky,” sahut Desi mulai menjelaskan, “cuma kayaknya dia agak aneh, deh.”
“Aneh?” ulang Sasha bingung.
“Coba lu pikir deh, Sha. Masa dia mau bantuin gue. Aneh, ‘kan?” jelas Desi berharap Sasha sependapat dengannya.
“Aneh di mananya, ya?” tanya Sasha makin bingung.
“Ya, aneh, lah! Pokoknya gue ngerasa aneh saja sama tingkah lakunya. Dia bikin gue sampe merinding ketakutan,” jelas Desi lagi.
“Takut kenapa?” tanya Sasha penasaran.
“Matanya itu, Sha. Serem banget! Kayak mau makan gue hidup-hidup,” ujar Desi berlebihan.
“Ah, lebay banget lu! Nggak mungkin, ah,” tolak Sasha yang disusul tawa kecil.
“Beneran, Sha! Gue nggak lebay. Suer!” sahut Desi cepat.
“Dan parahnya lagi, tadi dia tuh mau nyium gue,” lanjut Desi yang langsung merona saat membayangkan betapa dekat wajah Mike. Ia bahkan bisa mengingat bagaimana bibir indah itu mulai terbuka, siap menciumnya. Terdengar keheningan kaku di seberang sana, tampaknya Sasha cukup terkejut hingga tidak bisa berkata-kata.
“Sha,” panggil Desi, “lu masih di situ, ‘kan?”
“Iya. Iya. Gue masih di sini, kok,” jawab Sasha cepat.
“Terus gimana, Sha. Lu mau ‘kan gantiin gue hari Sabtu nanti?” mohon Desi memelas.
“Aduh, maaf, Des. Bukannya nggak mau, tapi Sabtu ini gue ada acara. Keluarga gue dari Australia baru datang, nih,” jelas Sasha pada Desi. Seketika itu pula, hatinya serasa mencelus hingga ke perut.
“OK-lah, Sha. Besok gue coba tanya Maira, deh. Semoga saja dia bisa bantu gue,” kata Desi penuh harap.
“Maaf, ya, Des. Bukannya gue nggak mau bantu. Cuma ini dadakan banget,” jelas Sasha merasa bersalah.
“Iya. Nggak apa-apa, Sha,” balas Desi pasrah.
“Ya, sudah. Istirahat, Des,” nasihat Sasha lembut.
“Oke. Malam, Sha,” sahut Desi lemah.
“Malam, Des,” balas Sasha.
Embusan napas pasrah melesat begitu saja dari bibir Desi setelah berbicara dengan Sasha. Saat ini, ia hanya bisa berharap agar Maira mau membantunya. Jika tidak, maka ia benar-benar dalam bahaya.
*****
“What?” seru Maira kaget saat mendengar permintaan Desi. Pagi itu, mereka bertiga sedang berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Maira, yang sedang sibuk mengatur persiapan gathering Dhirgan, terusik dengan permintaan Desi yang tiba-tiba.
“Please, Ra! Cuma lu satu-satunya harapan gue,” mohon Desi memelas.
“Des, gue nggak bisa! Beneran, deh. Soalnya hari Minggu ini ada pertemuan keluarga sama calon besan,” jelas Maira sambil berusaha memusatkan perhatian kembali pada pekerjaan.
“Terus gue gimana, dong? Gue takut banget sama Mike,” keluh Desi gelisah.
“Ya, mau gimana lagi, Des,” balas Maira sambil lalu.
“Eh, kalau dipikir-pikir, gue rasa mungkin ini waktu yang tepat buat lu, Des. Lu gunain saja kesempatan ini buat belajar mengenal pria baru,” goda Sasha, yang langsung membuat Desi mengernyit takut.
Setelah mendengar cerita Desi tentang kejadian kemarin di ruang kerja Mike, Sasha dan Maira malah memasang raut senang. Bukan senang melihatnya menderita. Bukan! Hanya saja, Desi tahu kalau kedua sahabatnya itu sudah lama menunggu momen seperti ini. Momen di mana Desi kembali gelisah karena kehadiran pria dalam hidupnya.
“Apa sebegitu nyereminnya si Mike ini?” tanya Maira penasaran.
“Misterius. Menyeramkan. Mengintimidasi,” jawab Desi jujur sambil menekan tiap kata yang keluar dari bibirnya.
“Bahkan …, ngebayangin wajahnya saja bisa bikin gue merinding,” lanjut Desi sambil mengelus bulu kuduknya yang meremang. Desi terdiam sejenak ketika kejadian liar nan menggoda itu muncul kembali.
Namun, bukan itu yang membuatnya takut untuk bertemu lagi dengan Mike. Entah mengapa, Desi merasa kalau Mike memiliki sesuatu yang sangat berbahaya. Sesuatu yang dapat membuatnya gugup dan tidak bisa berpikir jernih. Sesuatu yang mampu melelehkan tubuhnya bak cokelat yang dipanaskan. Ini benar-benar menakutkan bagi Desi, dan ia tidak tahu apakah ia sanggup berhadapan dengan pria itu lagi.
“Tapi, orangnya good looking nggak?” tanya Maira ingin tahu.
“I-iya sih. Cuma, ya … tetap saja nyeremin,” jawab Desi jujur.
“Ganteng ini, ‘kan? Bawa have fun saja, Des,” goda Sasha iseng.
“Gimana gue mau have fun kalau matanya ngeliatin gue kayak mau makan gue hidup-hidup?” gerutu Desi kesal.
“Mungkin lu memang keliatan lezat di mata dia,” timpal Maira yang disambut cekikikan geli Sasha.
“Apaan, sih!” protes Desi. Wajahnya pun mulai merona.
“Hati-hati, loh!” goda Sasha sembari menakut-nakuti.
“Hati-hati kenapa?” sahut Desi panik.
“Hati-hati! Jangan-jangan nanti lu malah jatuh cinta sama dia,” ledek Sasha yang langsung mendapat anggukan cepat dari Maira, dan mereka berdua pun tertawa geli.
“Sialan lu! Jangan sampai, deh. Orangnya arogan dan nyeremin gitu,” gerutu Desi menepis ucapan Sasha.
“Tapi …, kalau orangnya nggak arogan, lu mau, ‘kan? Iya, ‘kan?” goda Sasha lagi.
“Apaan, sih? Pokoknya nggak, ah! Sifat arogannya sudah mendarah daging. Lagian, dia juga nggak akan bisa hilangin auranya yang menyeramkan itu. Pokoknya, sekali nggak, tetap nggak!” tegas Desi sebelum mengalihkan pandangan ke layar laptop. Desi tidak ingin kedua sahabatnya menangkap rona merah di wajahnya setiap kali ia membayangkan Mike.
Akibat dari ucapan Sasha, ia malah membayangkan Mike berubah menjadi sosok yang lembut dan penuh kehangatan. Tentu saja, dengan wajah tampan yang mampu menarik perhatian semua kaum hawa, tubuh tinggi bak manekin di toko busana, serta suara berat dan sedikit serak, membuat Mike layaknya sang Cassanova sejati. Bahkan, Mike bisa menjadi salah satu pria sempurna di dunia ini. Namun sayangnya, itu hanya ilusi sesaat dalam kepala Desi. Mike tidak mungkin berubah. Tidak mungkin!
“Sudahlah, Des. Santai saja,” ujar Maira saat beranjak dari kursi. Wanita itu mulai merapikan meja, lalu memasukkan laptop ke tas kerja. Desi memperhatikan Maira yang sudah siap menangani gathering hari ini.
“Gue berangkat, ya. Mau urusin Dhirgan dulu. Wish me luck!” pamit Maira, penuh semangat. Sasha tersenyum ringan membalas ucapan Maira, sementara Desi masih berusaha menghapus bayangan Mike dari pikirannya.
“Hati-hati, ya, Ra! Kabarin,” sahut Desi lemah.
“OK!” jawab Maira yang langsung keluar dari ruangan, meninggalkan Desi berduaan dengan Sasha.
Berselang beberapa menit sejak kepergian Maira, tiba-tiba ponsel Desi berdering keras di tengah suasana kantor yang sepi. Desi dan Sasha terkejut bukan main. Dengan cepat, Desi menatap ponsel yang ia letakkan tepat di samping laptop.
Tubuh Desi menegang seketika seolah-olah tersihir oleh sesuatu yang ada di layar ponsel. Nama Mike tertera di sana. Ia memang sudah menyimpan nomor pria itu tadi malam, tetapi Desi tidak menyangka kalau Mike akan menghubunginya sekarang.
“Siapa, Des? Kenapa nggak dijawab?” tanya Sasha penasaran.
Desi memutuskan untuk membiarkan panggilan itu hingga ponselnya berhenti berdering. Namun sedetik kemudian, ponselnya kembali berdering. Lebih dari tiga kali, Mike berusaha menghubunginya, tetapi Desi tidak berani untuk menjawabnya.
“Desi!” bentak Sasha kesal, “jawab teleponnya!”
“H-halo?” jawab Desi terpaksa.
“Aku di depan rumahmu sekarang. Cepat keluar! Kita akan pergi untuk mempersiapkan keperluan gathering,” perintah Mike tegas.
“T-tapi, aku—”
“Cepat! Aku tidak suka sama orang yang geraknya lambat,” potong Mike cepat, tak memberikan waktu baginya untuk menolak. Panggilan itu terputus begitu saja. Dengan raut panik, Desi menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap layarnya. Sesaat, ia hanya bisa membatu seolah-olah nyawanya melayang entah ke mana.
“Desi, ada apa?” tanya Sasha khawatir sembari beranjak dari kursi dan menghampirinya. Tangan Desi terkulai lemah, lalu meletakkan ponsel begitu saja di meja.
“Mati gue, Sha!” seru Desi nelangsa dengan raut ketakutan.
“Kenapa?” tanya Sasha khawatir sambil duduk di pinggir meja.
“M-mike. D-dia … dia ada di depan,” jawab Desi gelagapan.
“Ngapain?” tanya Sasha bingung.
“K-katanya mau … mau itu … m-mau siapin keperluan gathering,” jawab Desi terbata-bata karena takut dan panik.
“Oh, astaga! Gue kirain ada apa,” balas Sasha santai disusul helaan lega. Wanita itu pun beranjak dari pinggir meja Desi, lalu kembali ke meja kerjanya.
“Bantuin gue, Sha. Please!” mohon Desi memelas.
“Bantuin apa? Lu ‘kan sudah gede. Masa gue harus nemenin lu ke mana-mana. Lagian ini ‘kan urusan kerjaan, nggak mungkinlah dia mau ngapa-ngapain lu,” sahut Sasha setelah duduk di kursi kerja. Desi tahu betapa cueknya Sasha, tetapi ia tak menyangka sahabatnya yang satu ini mampu menanggapi kemelut yang ia hadapi dengan santai.
“K-kalau dia ngapa-ngapain gue, gimana?” tanya Desi panik.
“Yaelah, Des! Lu tuh sudah besar. Dewasa dikit, kek! Masa lu nggak bisa ngelawan atau gimana begitu. Lagian juga, ini bukan pertama kalinya ‘kan lu jalan sama laki-laki,” jawab Sasha santai sambil berkutat dengan ponsel.
“Iya juga, sih. Tapi … kalau dia ngapa-ngapain gue gimana, Sha?” tanya Desi gelisah dengan bayangan liar yang mengisi kepalanya.
“Kalau enak, ya lanjut. Kalau nggak enak, ya tinggalin. Gampang, ‘kan?” goda Sasha dengan gaya santainya yang khas. Wanita itu meletakkan ponsel di meja, lalu kembali serius menatap layar laptop.
“Sasha!” tegur Desi, tak percaya dengan kecuekan Sasha.
“Sudah, pergi sana! Jangan sampai dia malah bad mood gara-gara kelamaan nungguin lu,” saran Sasha. Namun, Desi memilih untuk tetap diam di tempat, seakan-akan kursi itu menempel di bokongnya.
“Desi!” tegur Sasha kesal, “pergi sana!”
Terpaksa, akhirnya Desi beranjak dari kursi, lalu bergegas menuju kamar tidur. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bahkan ia tidak ingin memikirkannya. Dengan cepat, Desi memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas selempang kecil, merapikan rambut, dan menyemprotkan sedikit parfum sebelum keluar dari kamar.
Setibanya di luar rumah, Desi bisa merasakan jantungnya menciut hingga sebesar kacang almond ketika melihat mobil jaguar hitam mengilat terparkir tepat di depan pagar. Ingin rasanya Desi berbalik dan mengunci diri di dalam rumah agar Mike tidak bisa mengganggu kehidupannya. Namun, Sasha benar. Ini adalah urusan pekerjaan, dan mau tidak mau Desi harus melakukan tugasnya dengan baik.
Dengan langkah kaki yang terasa lemas dan goyah, Desi berjalan menuju pagar sembari meremas erat tali tasnya. Desi tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, yang pasti sebisa mungkin ia akan menjaga jarak dari Mike. Benar-benar menjaga jarak!
Ini hanya urusan pekerjaan. Ini hanya urusan pekerjaan, batin Desi berulang kali sembari mencoba untuk tetap tenang dan menjauhkan pikiran buruk tentang Mike. Melihat kehadirannya, seorang pria berpakaian rapi dan berparas agak tua, keluar dari pintu kemudi, lalu membukakan pintu untuknya. Bukannya langsung masuk, Desi malah terdiam sejenak dan menimbang apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
“Apa perlu aku menarikmu masuk, atau kamu bisa memasukkan kakimu yang mulus itu sendiri ke sini?” tanya Mike sinis dengan mata indah yang saat ini sedang meneliti dirinya.
Mendengar ucapan Mike, Desi langsung menunduk dan memperhatikan pakaiannya. Seketika itu pula, Desi merasa seperti menawarkan ikan kepada kucing yang lapar. Rok biru tua yang ia kenakan berpotongan tepat beberapa sentimeter di atas lutut. Tidak terlalu seksi, tetapi tetap saja Desi menyesal karena tidak mengganti pakaian dulu sebelum keluar rumah.
Berusaha tidak menghiraukan ucapan Mike, Desi segera masuk ke dalam mobil, meskipun rasa takut itu makin merajai dirinya. Setelah sopir duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin mobil, mereka pun segera menjauh dari rumah Desi.
*****
BAB 7
Mike memasukkan ponsel ke saku jas, lalu melirik Desi yang terlihat gugup dan kaku. Wanita itu duduk tak berkutik dengan tubuh hampir menempel di pintu sambil terus merapatkan kaki dan menjaga jarak darinya. Mike tersenyum kecil, yang akhir-akhir ini sering ia lakukan setiap kali mengingat Desi.
Diam-diam, ia kembali meneliti Desi dari ujung rambut hingga kaki. Rambut yang dikuncir kuda, memberikan keleluasaan bagi Mike untuk mengagumi leher putih nan mulus yang menggoda untuk dikecup. Kemeja lengan pendek biru langit dengan tiga kancing teratas yang dibiarkan terbuka, seakan-akan menggoda matanya yang tak pernah puas memandangi belahan payudara Desi di balik tank top putih yang wanita itu kenakan.
Pandangan Mike bergerak turun ke rok biru tua yang berpotongan cukup pendek, yang memperlihatkan betapa mulusnya paha Desi. Tangannya tergelitik untuk menyentuh dan membelai, tetapi dengan cepat ia mengurungkan niatnya. Mike tidak ingin Desi takut padanya.
Mike teringat akan kejadian kemarin. Ia bisa melihat seberapa takut Desi padanya, dan ia tidak ingin hal itu terjadi kembali. Mike tidak ingin rencana ini gagal hanya karena ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri.
Pandangan Mike pun beralih ke bawah, tepat ke sepatu heels putih yang membuat penampilan Desi terlihat sempurna. Sekelebat pikiran liar mulai mengisi pikiran Mike yang membuatnya makin sulit mengendalikan diri. Ia tak menyangka begitu mudahnya Desi membangkitkan gairahnya, bahkan hanya dengan duduk diam seperti itu.
Perhatian Mike tak beranjak sedikit pun dari wanita itu. Gelenyar menyenangkan mulai merambat dari dada hingga sekujur tubuh saat ia membayangkan Desi menjadi miliknya. Aliran darah yang berdesir cepat pun merespons jalan pikirannya, membuat jantung Mike berdebar sedikit lebih cepat.
Seakan-akan menyadari tatapannya, Desi menoleh sekilas sembari memasang raut sinis sebelum mengalihkan pandangan kembali ke luar jendela. Senyum miring menghiasi wajah Mike menanggapi tingkah laku Desi. Tidak ada yang tahu seberapa keras ia menahan diri agar tidak menarik wanita itu dan menikmati setiap lekuk tubuhnya. Bahkan, gairahnya yang begitu menuntut membuat Mike hampir gila.
“Kenapa kamu harus menjemputku?” tanya Desi sinis tanpa menoleh sedikit pun, “aku bisa mengurus semua ini sendirian.”
“Tenang saja. Aku hanya ingin memperhatikan caramu bekerja,” jawab Mike santai.
“Kenapa tidak menunggu sampai hari-H? Kamu bisa melihat hasil kerjaku nanti,” lanjut Desi cepat, masih tetap memandang ke luar jendela, “kamu tidak perlu repot-repot seperti ini!”
“No, I don’t,” jawab Mike singkat, lalu mengubah posisi duduknya sedikit ke samping agar bisa memperhatikan Desi dengan mudah.
“Apa kamu tidak ada kerjaan lain?” tanya Desi ketus, kemudian melemparkan tatapan kesal pada Mike.
“Nope,” jawab Mike singkat.
“Tidak mungkin!” jawab Desi disusul dengusan sinis, tidak memercayai jawaban Mike. Desi memang benar. Tentu saja ada rapat dan beberapa kegiatan yang harus Mike hadiri, tetapi ia membatalkan semua agar bisa mempersiapkan gathering bersama Desi.
“Kenapa tidak mungkin?” tanya Mike iseng.
“Karena orang sibuk seperti kamu, yang punya banyak perusahaan besar dan beberapa anak perusahaan yang tersebar hampir di tiga benua, sudah pasti punya serentetan rapat atau apalah itu,” jawab Desi lantang. Mike mengangkat salah satu alisnya, merespons informasi yang wanita itu miliki.
“Hmm … sepertinya kamu sudah tahu banyak tentang diriku, ya?” tebak Mike dengan nada menggoda dan senyum simpul. Seketika itu pula, wajah Desi merona malu mendengar tebakannya.
“B-bukan … bukan itu maksudku. A-aku … aku … maksudku,” sanggah Desi gelagapan. Mike sangat senang melihat Desi yang gelagapan karena gugup, benar-benar menggemaskan hingga membuat giginya menggemeretak kuat. Ia bisa membaca apa yang Desi rasakan karena semua tergambar jelas di wajah cantiknya. Rona merah yang mewarnai wajah mulus Desi pun membuat Mike mengepalkan tangan erat demi menahan rasa gemas.
“Aku apa?” pancing Mike tenang.
“A-aku … m-maksudku, kami … kami pasti mencari dulu informasi mengenai perusahaan yang akan kami tangani. Setidaknya, kami harus tahu seperti apa orangnya … eh, maksudku … perusahaannya bergerak di bidang apa. Kami juga harus tahu dengan siapa kami bekerja sama,” jelas Desi sangat gugup.
“Apa lagi yang kamu tahu tentang diriku?” tanya Mike tenang.
“Cukup banyak,” jawab Desi keceplosan, yang langsung menunjukkan raut penyesalan.
“Hmmm … seberapa banyak?” tanya Mike makin penasaran.
“Hanya sesuai kapasitas kerja saja,” kilah Desi cepat yang langsung menutup mulut rapat-rapat, lalu memalingkan wajah dari Mike ke luar jendela. Kegugupan yang Desi tunjukkan membuat Mike makin tergoda untuk terus memancing wanita itu berbicara. Ia ingin tahu seberapa banyak informasi yang Desi peroleh. Karena sejujurnya, ia berharap semoga Desi tidak mengetahui hal-hal pribadi agar rencananya bisa berjalan lancar.
Ya, ia memang sudah membuat rencana bersama seseorang. Rencana yang akan memengaruhi masa depan dan seluruh kekayaannya. Rencana yang juga berhubungan dengan Desi. Jika wanita itu hanya mengetahui tentang kehidupan percintaannya yang liar dengan beberapa wanita yang singgah di pelukannya—atau lebih tepatnya, tergeletak pasrah demi memuaskan berahinya—maka Mike bisa bernapas lega.
“Apa kamu mencoba berbohong padaku?” tanya Mike, memancing percakapan. Desi kembali menatapnya dengan kening mengerut kesal.
“Berbohong?” ulang Desi tersinggung.
“Iya,” sahut Mike cepat, “kamu tidak menjawab sebanyak apa kamu tahu tentang diriku.”
“’Kan, tadi aku sudah bilang kalau aku hanya mencari sesuai kapasitas pekerjaan saja,” jawab Desi, berusaha membela diri.
“Lalu, kenapa wajahmu merona?” ujar Mike santai. Di dalam hati, Mike tertawa geli melihat betapa kaku wajah Desi saat ini.
“W-wajahku tidak merona!” kilah Desi cepat.
“Ya, kamu merona,” timpal Mike tak kalah cepat.
“Tidak!” lawan Desi kesal.
“Iya,” balas Mike santai.
“Tidak!” tolak Desi geram, yang mulai terdengar ragu.
“Iya,” balas Mike, tak berniat untuk berhenti. Akhirnya, Desi menghela napas pasrah, lalu menggeleng kesal.
“Ok. Baiklah. Apa kamu akan diam kalau aku menjawab rasa penasaranmu itu?” tanya Desi, menyerah. Mike hanya mengangkat salah satu alisnya demi menjawab pertanyaan Desi.
“Aku hanya tahu berapa banyak perusahaanmu, kegiatan-kegiatan amal dan acara besar apa saja yang kamu hadiri, dan berapa wanita yang pernah menjalin hubungan denganmu. That’s it!” jawab Desi cepat seraya melipat tangan di depan dada. Sedetik kemudian, Desi langsung membuang wajah ke samping.
“Berapa wanita?” tanya Mike disertai senyum simpul.
“Lima belas,” jawab Desi cepat, tanpa menoleh sedikit pun.
“Glad to hear that,” balas Mike santai. Tak mengira akan mendengar kalimat itu meluncur dari bibirnya, Desi pun kembali menoleh dan melemparkan tatapan bingung.
“Hah? Apa maksudmu?” tanya Desi bingung.
“Nothing,” jawab Mike santai, lalu mengalihkan pandangan dari Desi. Mike segera mengeluarkan ponsel dari saku jas dan merasa bersyukur karena Desi hanya mengetahui hal-hal umum mengenai dirinya. Akhirnya, Mike memutuskan untuk tidak bertanya ataupun memancing pembicaraan lagi, dan tampaknya Desi setuju dengan keputusannya. Untuk yang ke sekian kali, Desi mengalihkan pandangan dari Mike.
*****
Desi terkejut dengan pertanyaan Mike. Tentu saja ia mengetahui ke lima belas wanita yang pernah singgah di kehidupan pria itu. Namun dari tenangnya cara Mike menjawab, Desi bisa mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar jumlah wanita yang pernah mampir dalam kehidupan pria itu pasti lebih dari yang pernah tercatat di media online.
Mike adalah pria idaman bagi setiap wanita, Desi tahu itu. Tak satu pun wanita bisa menolak Mike. Kekayaan yang melimpah, ketampanan yang begitu menghipnotis, dan sikap yang sedikit misterius, pasti mampu membuat wanita tergila-gila. Setiap media menyorot gaya hidup Mike yang selalu hadir dalam beberapa pameran, pesta, dan aksi sosial. Namun, yang paling disorot adalah kehidupan percintaannya.
Setiap kali media memuat berita tentang Mike, Desi bisa melihat kehadiran wanita cantik di samping pria itu. Desi tidak mengerti mengapa Mike tak pernah terlihat menetap pada satu wanita. Tampaknya, tak ada satu wanita pun di dunia ini yang bisa membuat Mike bertekuk lutut. Itulah mengapa Desi berusaha menjaga jarak. Ia tidak ingin menjadi salah satu dari barisan koleksi wanita yang pernah masuk ke pelukan Mike. Tidak akan! batin Desi.
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa begitu canggung. Ia bahkan tidak tahu ke mana sopir membawanya karena ia tak terlalu memperhatikan. Berselang beberapa saat kemudian, akhirnya sopir memarkirkan mobil di depan sebuah restoran ternama. Tanpa banyak bicara, Mike segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuknya.
“Untuk apa kita ke sini?” tanya Desi cepat dari dalam mobil. Matanya memperhatikan sekeliling disertai raut curiga.
“Mempersiapkan acara gathering. Apa kamu lupa?” tanya Mike balik, sedikit sinis.
“Bukannya kita akan mengadakan acara gathering di hotelmu? Lalu …, untuk apa kita ke sini? Apa hotelmu makanannya tidak enak?” tanya Desi lagi.
“Kamu mau aku gendong atau jalan sendiri?” tanya Mike sinis, mulai kehabisan kesabaran. Desi pun terpaksa keluar dari mobil sembari menggerutu dalam hati. Setelah menutup pintu, Mike melangkah begitu saja, membiarkan Desi yang masih berdiri di samping mobil. Menyadari dirinya tidak beranjak sedikit pun, Mike berhenti tepat di depan pintu restoran, lalu berbalik dan menghampiri Desi dengan raut kesal.
“Kamu tahu, ‘kan? Aku paling tidak suka sama orang yang geraknya lama,” geram Mike kesal, lalu menggenggam tangan Desi dan menariknya lembut.
Desi memperhatikan barisan orang yang menunggu untuk masuk ke restoran ketika Mike menariknya melewati pintu kaca. Pria itu terus menggenggam tangan Desi, tidak memedulikan beberapa pasang mata yang menatap mereka dengan pandangan menyelidik. Tanpa banyak bicara, Mike membawanya menuju sebuah pintu kokoh nan besar berwarna cokelat.
Dengan sikap tenang, Mike membuka pintu yang membawa mereka ke ruang dapur yang sangat besar. Aroma masakan langsung menyerbu Desi saat melangkah masuk. Bunyi alat masak yang saling beradu, serta suara beberapa orang yang sibuk berbicara sambil bekerja, mengisi ruangan itu.
Meskipun tempat itu merupakan ruang dapur, tetapi Desi memuji kebersihan dan kemegahannya. Bahkan, terdapat beberapa peralatan memasak yang belum pernah Desi lihat sebelumnya. Baru beberapa langkah mereka berjalan, seorang pria bertubuh besar dan sedikit berisi segera menghampiri Mike dengan senyum ramah. Pakaian serba putih dengan topi koki yang menutupi kepala, membuat pria itu tampak makin bulat.
“Selamat siang, Pak Larosky. Hidangannya sudah siap,” sapa pria itu, yang langsung berbalik dan mengarahkan mereka ke sebuah ruangan khusus yang tertutup dan jauh dari kebisingan dapur. Saat mereka berada di dalam ruangan, Desi menemukan sebuah meja bundar berukuran sangat besar. Di sana tersaji berbagai macam hidangan yang terlihat lezat dan menggugah selera.
“Ini semua pesanan Anda, Pak. Kalau ada yang perlu ditambahkan, saya akan segera menyiapkannya,” jelas koki itu formal. Mike tak membalas, bahkan tidak memberikan isyarat apa pun. Namun, tampaknya si koki sudah mengenal sikap dingin Mike, dan tetap tersenyum ramah.
“Baiklah, Pak Larosky. Saya permisi dulu,” pamit si koki sebelum meninggalkan mereka berdua. Tangan Mike, yang masih menggenggam pergelangan tangan Desi, menariknya ke meja bundar. Akhirnya, Mike melepaskan genggaman dan mempersilakannya duduk.
“Buat apa semua makanan ini?” tanya Desi bingung.
“Cicipi semua makanan ini! Pilih mana yang kamu suka, maka itulah yang akan dihidangkan di acara nanti,” perintah Mike datar, lalu duduk tepat di sampingnya.
“Hah? Aku harus mencicipi semua ini sendirian? Kenapa harus aku?” tanya Desi, kaget dan bingung.
“Aku percaya dengan seleramu,” jawab Mike cepat.
“Kenapa harus di restoran ini? Bukankah hotelmu terkenal dengan hidangannya yang menakjubkan?” tanya Desi sembari melemparkan tatapan bingung.
“Pria tadi adalah kepala koki di hotelku. Aku sengaja menyuruhnya menghidangkan makanan di sini karena aku malas bepergian jauh saat ini,” jelas Mike sembari melipat tangan di depan dada, tampak mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan Desi.
“Lalu, siapa yang masak di hotelmu?” tanya Desi, lagi dan lagi, seakan-akan pikirannya hanya berisi pertanyaan.
“Dia punya tiga asisten profesional,” jelas Mike makin kesal, “sekarang, apa kamu mau mencobanya atau aku harus memecat dia karena kamu tidak suka dengan semua makanan ini?”
“Oh, OK. Baiklah,” jawab Desi terpaksa.
Dengan saksama, Desi mencicipi satu per satu hidangan yang tersaji. Semuanya memiliki rasa yang begitu istimewa dan lezat. Ia bahkan sempat bingung harus memilih menu yang terbaik untuk acara nanti. Akhirnya, setelah mencoba semua dan mencatatnya dalam sebuah kertas, ia pun memutuskan untuk memilih beberapa hidangan yang cocok untuk acara gathering.
Desi memberikan catatan tersebut kepada Mike, yang langsung beranjak dari kursi dan meninggalkannya sendirian. Sejenak, Desi memperhatikan barisan hidangan itu. Ia penasaran apakah semua makanan ini akan dibuang begitu saja, sementara ia hanya mencicipi sedikit dari setiap makanan itu. Tak lama kemudian, Mike muncul dari balik pintu, lalu menghampiri Desi yang masih berdiri memandangi semua hidangan itu.
“Kamu boleh menghabiskan semuanya kalau mau,” tawar Mike santai yang membuat Desi terbelalak kaget.
“Oh, b-bukan. Bukan begitu. Aku hanya berpikir … apakah semua ini akan dibuang begitu saja?” tanya Desi sembari menatap hidangan di meja dengan raut sedih.
“Iya. Memangnya kenapa?” balas Mike tidak peduli.
“Sayang sekali. Kenapa tidak dikasih ke orang yang membutuhkan?” saran Desi tulus. Mike malah berdecak kecil menanggapi ucapannya.
“Kamu tahu? Badanmu kecil, tapi kenapa cerewet sekali, ya?” tegur Mike, sinis.
“Tapi—”
Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, Mike melingkarkan pelukan di pinggang Desi. Keluhannya pun tenggelam begitu saja karena kaget. Pelukan itu terasa erat dan menyesakkan, sementara tangan Mike yang lain langsung menengadahkan wajah Desi.
Semuanya terjadi begitu cepat, sehingga Desi tak sempat memberikan perlawanan saat Mike melumat bibirnya tanpa peringatan. Sedetik kemudian, Desi melayangkan tamparan keras ke pipi Mike. Ciuman itu pun langsung terhenti, sementara Mike terperangah akibat tamparannya.
Desi bisa merasakan jantungnya berdebar sangat cepat seperti ingin meledak. Ia benar-benar tak menyangka kalau ciuman itu mampu membuat seluruh sel dalam tubuhnya kacau dan berantakan. Bahkan, sebuah gejolak baru serta perasaan asing mulai muncul dan bersarang di dadanya.
Desi ketakutan, tetapi ia juga tak menepis bahwa ciuman itu memberikan sensasi aneh yang membuat lututnya lemas. Napasnya yang terengah-engah pun menunjukkan betapa besar pengaruh ciuman itu terhadap keteguhan hatinya. Bukannya langsung melepaskan lingkaran posesif di tubuhnya setelah mendapatkan tamparan keras, Mike malah mencengkeram gemas pinggul Desi sembari menggemeretakkan gigi. Tak mampu melawan, Desi hanya bisa menahan rintihan sakit akibat cengkeraman itu sembari menatap mata Mike yang berkobar penuh gairah dan amarah.
“How dare you!” geram Mike tipis.
“L-lepaskan aku!” pinta Desi, tegas bercampur rasa takut. Mata Mike menatapnya dalam-dalam. Tampak kilatan geram di mata gelap nan indah itu. Dengan sisa keberanian yang ada di dirinya, Desi mendorong tubuh Mike, mencoba melepaskan diri dari pelukan pria itu. Namun, Mike malah mempererat pelukannya hingga tubuh mereka menempel selama beberapa saat. Anehnya, kehangatan tubuh dan pelukan Mike terasa begitu tepat di tubuh Desi.
“Lepaskan, Mike!” pinta Desi sambil terus mendorong-dorong tubuh besar itu dengan sekuat tenaga, “lepaskan!”
Diiringi geraman kesal, akhirnya Mike melepaskannya. Secepat kilat, Desi berbalik, berniat pergi dari tempat itu. Namun, Mike mencengkeram pergelangan tangan Desi, berusaha menahan kepergiannya. Refleks, Desi mengentak cengkeraman itu cukup keras hingga terlepas dari pergelangan tangannya, lalu bergerak menjauh, mencoba menjaga jarak.
Dengan raut ketakutan dan panik, Desi menggenggam pergelangan tangannya yang terasa panas akibat cengkeraman erat Mike. Ia terus melangkah mundur, sementara Mike malah makin mendekat. Ia benar-benar ketakutan. Bukan hanya karena ciuman itu, tetapi ia takut terjerat oleh kelihaian dan pesona Mike. Desi yakin Mike bisa menangkap betapa besar rasa takutnya saat ini, tetapi pria itu tak berniat menghentikan semuanya. Mike malah terus melangkah mendekat dengan raut geram.
“Kenapa?” tanya Mike, tak terima.
“K-kenapa?” ulang Desi sembari terus melangkah mundur. Ia tidak percaya Mike malah memprotes penolakannya.
“I-ini salah, Mike. Ini salah!” tegur Desi. Ia memberanikan diri menatap mata hitam pekat yang mampu menenggelamkan kewarasannya.
“Apa yang salah?” protes Mike tipis, tidak terima.
“I-ini salah. Aku, kamu … kita,” sahut Desi gugup, “ini salah!”
Tarikan napas yang pendek menunjukkan betapa frustrasinya Desi saat ini karena tidak mampu menjelaskan dengan benar kepada Mike. Desi terus melangkah mundur sambil menekan rasa gugup yang membuatnya sulit berbicara.
“Stop!” perintah Desi sambil mengangkat tangan, mencoba menghentikan langkah Mike. Punggungnya yang menyentuh dinding ruangan, membuat Desi tak bisa ke mana-mana lagi. Akhirnya, Mike pun berhenti dua langkah darinya. Keberadaan mereka yang begitu dekat memudahkan Desi dalam menangkap perubahan suasana hati Mike yang terpancar jelas di wajahnya.
“Aku tidak akan menyakitimu, Desi,” ucap Mike lembut. Begitu lembutnya sehingga Desi mengira kalau pria itu sedang membujuknya agar bisa menghadapi keadaan ini dengan tenang. Namun, Desi tidak bisa! Ciuman itu membuat tubuhnya panas seperti terbakar.
“T-tapi, kamu menciumku,” keluh Desi ketakutan. Suaranya yang bergetar menunjukkan betapa terguncang dirinya saat ini.
“Lalu?” pancing Mike cepat.
“Ini hanya hubungan pekerjaan dan …, dan i-ini salah,” jelas Desi.
“K-kamu mau apa?” tanya Desi ketakutan saat Mike kembali melangkah. Seakan-akan mampu menangkap besarnya rasa takut yang ia rasakan, akhirnya Mike pun terdiam sejenak, pikirannya melayang jauh, sementara mata itu terus mengunci Desi.
Ia benar-benar tidak menyangka kalau Mike memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap seluruh saraf di tubuhnya. Bahkan, hanya dengan ciuman kilat saja mampu membuat sekujur tubuhnya gemetar hebat. Dalam suasana hening, Desi menatap bibir Mike sejenak, dan gelenyar hangat mulai menjalari tubuhnya. Sekuat tenaga ia berusaha menghapus rasa itu, tetapi tidak bisa.
Waktu yang berlalu serta keheningan yang melingkupi mereka, membuat Desi sesak. Tak sanggup menunggu dalam diam, Desi pun memutuskan untuk bergerak ke samping, berniat pergi selagi bisa.
“Kamu mau ke mana?” tanya Mike dingin, yang langsung menghentikan langkah Desi tepat di depan pintu.
“Pulang!” jawab Desi singkat, tanpa menoleh sedikit pun.
“Aku akan mengantarmu,” ucap Mike cepat.
“Aku bisa pulang sendiri!” tolak Desi, lalu menekan tuas pintu.
“Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Mike lagi sambil menarik lembut pergelangan tangan Desi. Tidak sanggup menahan aliran panas yang menjalar dari genggaman itu, ia segera melepaskan tangannya, lalu melemparkan tatapan marah dan kecewa pada Mike.
“Biarkan aku yang mengantarmu pulang,” ucap Mike, kali ini terdengar lembut dan tenang seperti memohon. Desi menatap pria itu sejenak. Ia benar-benar tak mengerti apa sebenarnya yang Mike inginkan darinya. Namun, saat ini ia tak ingin memperpanjang percakapan yang akan membuatnya makin lama berada di tempat ini.
“Fine!” jawab Desi ketus.
*****
BAB 8
Hari masih terang saat mereka tiba di depan rumahnya. Desi melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 15.00. Setidaknya, ia masih memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan sisa pekerjaan yang tertunda dan memastikan beberapa hal penting dengan tim lapangan agar semua bisa terkoordinasi dengan baik.
“Terima kasih untuk tumpangannya,” ucap Desi, ketus.
“Besok aku jemput jam tujuh pagi, kita akan ke hotel untuk mempersiapkan gathering,” sahut Mike tanpa menoleh sedikit pun. Mata pria itu tertuju pada layar ponsel, sementara jemarinya terus mengetik sesuatu di sana.
“Aku bisa mengurus semua ini sendiri!” tolak Desi cepat, lalu melangkah keluar dari mobil.
“Aku tidak menerima alasan,” balas Mike bernada perintah, “jam tujuh pagi. On time!”
“Hah, terserah!” jawab Desi kesal, lalu berpaling, dan berjalan menuju pintu rumah. Sembari mengentak-entakkan kaki sedikit keras demi melampiaskan amarah, Desi bergegas masuk, kemudian menutup pintu dengan kencang, lalu berjalan menuju ruang kantor. Sasha, yang masih sibuk dengan pekerjaannya, langsung mengangkat pandangan dan menatap Desi dengan raut penasaran.
“Kenapa muka lu?” tanya Sasha cepat.
“Kenapa sama muka gue?” tanya Desi balik, lalu menarik kursi dan duduk dengan raut tertekuk.
“Kusut. Kayak kertas habis diuwel-uwel,” jawab Sasha santai sembari tersenyum kecil, lalu kembali menatap layar ke laptop.
“Dasar lu!” balas Desi kesal, lalu bergegas menyalakan laptop.
Setelah bertanya pada Sasha mengenai hal yang berhubungan dengan kegiatan di lapangan, Desi segera mengangkat gagang telepon dan mencoba berkoordinasi dengan beberapa orang yang selalu mereka pekerjakan. Setelah memastikan kelengkapan anggota pekerja, Desi tidak lupa membuat checklist sesuai arahan Sasha. Ia juga memasukkan daftar hadiah, sekitar sepuluh sampai dua puluh barang, yang akan diberikan kepada karyawan terbaik.
Dikarenakan waktu persiapan yang begitu sempit, hari ini Desi masih harus mencari beberapa televisi, ponsel, dan kulkas dua pintu sebagai door prize untuk hadiah tahunan perusahaan kepada karyawan. Mike berpesan agar semua hadiah tertata rapi. Untuk seseorang yang angkuh dan suka memerintah, Mike termasuk atasan yang sangat menghargai karyawan.
“Baiklah, sebentar lagi saya akan ke sana untuk melihat barangnya … OK. Terima kasih,” balas Desi kepada seseorang di balik telepon.
“Mau pergi lagi?” tanya Sasha cepat.
“Iya. Gue harus kejar-kejaran waktu, nih. Gara-gara Mike, semua rencana gue berantakan!” keluh Desi kesal.
“Kenapa?” tanya Sasha penasaran. Ingin rasanya ia menceritakan kejadian itu, tetapi ia tak berani. Jangankan bercerita, membayangkannya saja bulu kuduk Desi langsung berdiri dan wajahnya merona.
“Nggak kenapa-kenapa,” jawab Desi singkat.
“Yakin?” tanya Sasha tak percaya.
“Iya,” jawab Desi cepat, “gue pergi dulu, ya. Kalau lu mau pulang, jangan lupa kunci pintu.”
*****
Hari sudah mendekati tengah malam ketika Desi akhirnya selesai mempersiapkan semua keperluan untuk acara Zyro. Besok, ia hanya perlu memeriksa hotel dan memberikan daftar nama tamu ke pihak terkait. Terakhir, Desi akan memeriksa ulang susunan acara yang sudah ia ubah sedemikian rupa, lalu meminta persetujuan Mike, dan memastikan semua pekerja mendekorasi ruangan sesuai dengan arahan.
Demi menenangkan seluruh saraf di tubuhnya yang berteriak kelelahan, Desi pun berendam sejenak dengan air hangat. Lagu Lost Star yang mengalun lembut serta suara merdu Adam Levine yang mendayu, membuat tubuh dan pikirannya rileks. Dengan mata terpejam, Desi menikmati ketenangan yang melingkupinya selama beberapa saat.
Tiba-tiba, bayangan wajah Mike dan ciuman singkat tadi siang melintas di pikirannya. Desi menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan liar itu dari benaknya. Hingga saat ini, ia masih belum mengerti mengapa Mike menciumnya. Apakah Mike menciumnya demi kesenangan semata atau karena memiliki perasaan lebih?
Desi tahu, Mike yang sering berganti pasangan. Bahkan mungkin, wanita hanyalah sebuah hiburan bagi pria itu. Desi, yang memiliki masa lalu pahit akan sebuah hubungan, merasa bahwa ia harus menjauh dan menjaga jarak dari Mike. Namun, entah mengapa Desi selalu merasakan perasaan yang berbeda setiap kali berada di dekat Mike. Perasaan baru yang membuat dirinya terus memikirkan pria itu. Perasaan yang memacu debar jantungnya makin cepat dan tak keruan.
Waktu pun berlalu begitu saja karena memikirkan Mike. Tak terasa, air pun mulai terasa dingin. Desi segera membasuh dan mengeringkan tubuh, lalu berpakaian. Dengan Mike yang masih merajai pikirannya, Desi berbaring di tempat tidur, berharap bisa segera tenggelam dalam mimpi indah.
Berulang kali ia mencari posisi tepat agar bisa terlelap. Namun, hingga jam menunjukkan pukul 23.30, Desi tetap saja belum merasakan kantuk. Besok, Mike akan menjemput tepat pukul 07.00. Mau tidak mau, ia harus bangun pukul 05.00 untuk bersiap-siap dan merapikan rumah. Meskipun ia sudah melontarkan penolakan atas perintah Mike tadi siang, Desi yakin pria itu pasti tetap menjemputnya.
Kesal karena tak kunjung mengantuk, Desi pun berbaring telentang, matanya menatap langit-langit kamar, sementara pikirannya kembali mengingat kejadian tadi siang. Oh, God! Kalau begini terus, aku bisa gila, batin Desi sambil menghela napas frustrasi. Ciuman itu menyadarkan Desi bahwa ia belum siap menerima kembali sosok pria dalam kehidupannya.
Tapi … kalau aku tidak memberanikan diri, mau sampai kapan aku seperti ini? pikir Desi nelangsa. Jujur, Desi ingin sekali melangkah dari masa lalu. Ia ingin kembali merasakan cinta dan kebahagiaan itu lagi. Namun di sisi lain, rasa takut yang begitu besar membuat Desi ragu dan bimbang. Ia tidak ingin merasakan kekecewaan itu lagi, bahkan tak siap jika harus kembali terluka karena cinta.
Desi mengembuskan napas panjang, berusaha menghapus kegelisahan yang menyelimuti dada. Beberapa saat kemudian, ia memaksakan diri untuk tidur. Namun sebelum memejamkan mata, Desi mengambil ponsel, berniat memasang alarm.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk membuat dadanya sesak seperti ditekan dua buah batu berukuran besar. Tubuhnya bahkan membeku seketika karena kaget. Setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya, Desi memberanikan diri untuk membaca pesan tersebut dengan tangan yang gemetar.
‘Desi, apa kabarmu sekarang?
Aku harap kamu baik-baik saja.
Steve.’
Seperti mendapat guyuran air es bersamaan dengan sengatan listrik yang begitu menyiksa tubuh, Desi langsung bangkit dari posisi tidur. Ia terdiam sejenak sembari menatap layar ponsel, seakan-akan benda itu adalah sosok yang sangat menakutkan. Desi kira, jika Steve mengiriminya pesan, maka ia akan bahagia. Namun, Desi salah. Ia malah kembali merasakan sakit dan kekecewaan yang begitu besar.
Desi memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan gejolak menyakitkan yang mengguncang dirinya. Ia tidak mau gegabah. Ia juga tak ingin menghancurkan keteguhan yang sudah susah payah dibangun. Sembari menguatkan diri, Desi kembali membaca pesan itu.
Baik-baik saja? Steve mengirim pesan hanya untuk bertanya apa aku baik-baik saja? Setelah apa yang dia lakukan, dia hanya bertanya apa aku baik-baik saja? Apa yang Steve pikirkan? Apa maksud dari pesan ini?
Pertanyaan demi pertanyaan mengisi kepalanya. Ingin rasanya ia menekan tombol ‘panggil’, dan bertanya langsung. Namun dengan cepat, Desi mengurungkan niatnya. Dengan perasaan kesal dan kecewa, ia menutup pesan itu, mengatur alarm, lalu meletakkan ponsel di meja nakas, dan kembali berbaring.
Tidak. Desi tidak akan membalas pesan itu sekarang. Besok. Ya, masih ada hari esok untuk mengurus Steve. Saat ini ada hal yang jauh lebih penting, yaitu pekerjaannya. Ia pun memejamkan mata dan terlelap dalam tidur nyenyak.
*****
Desi terbangun dengan napas terengah-engah dan jantung yang berdebar cepat. Keringat menetes di kening, begitu juga air mata yang mulai mengalir membasahi pipi. Mimpi buruk itu muncul kembali. Pertahanannya seakan-akan runtuh dan hilang dalam sekejap. Kekuatan dan keteguhannya pun lenyap bak ditiup angin hanya karena pesan singkat dari Steve.
Setelah beberapa hari mencoba untuk bangkit, kenapa mimpi itu kembali lagi? Kenapa? batin Desi frustrasi. Ia langsung mengambil ponsel, lalu mematikan alarm, kemudian beranjak dari tempat tidur, dan keluar dari kamar. Demi menghapus rasa sedihnya, Desi menghabiskan waktu dengan membersihkan rumah dan merapikan data-data untuk keperluan gathering.
Tak terasa, matahari mulai menampakkan cahayanya. Desi bergegas masuk ke kamar mandi, dan mandi secepat yang ia bisa. Setelah mandi, Desi langsung ke dapur, berniat untuk sarapan. Namun, kehadiran Steve yang tiba-tiba setelah sekian lama, membuatnya tak merasakan lapar sama sekali. Akhirnya, Desi memilih untuk tidak sarapan, lalu melangkah masuk ke ruang kerja dan mengambil tasnya.
Desi juga tidak lupa mengabari Sasha dan Maira, memberi tahu bahwa hari ini ia akan ke Bandung untuk mempersiapkan gathering Zyro. Setelah memastikan semua keperluannya sudah dimasukkan ke dalam tas, Desi menunggu sekitar lima belas menit hingga akhirnya deru mobil terdengar di luar sana. Desi mengintip dari balik gorden dan melihat mobil Jaguar Mike terparkir tepat di depan gerbang. Setelah mengunci rumah dan gerbang, Desi bergegas menuju pintu mobil yang sudah dibukakan oleh sopir.
“Mana Mike, Pak?” tanya Desi singkat saat menyadari ketidakberadaan pria itu.
“Maaf, Bu. Pak Larosky masih ada beberapa kepentingan di kediamannya. Sekarang kita akan ke sana untuk menjemput Pak Larosky,” jawab sopir itu dengan sopan. Tanpa bertanya lebih lanjut, Desi segera melangkah masuk. Setelah menutup pintunya, si sopir segera duduk di belakang kemudi, lalu mengendarai mobil menjauh dari rumah Desi. Beberapa menit kemudian, Desi memutuskan untuk membalas pesan dari Steve.
‘Aku baik-baik saja.
Kenapa baru menghubungiku sekarang?’
Setelah mengirim pesan, Desi menghela napasnya yang masih terasa berat. Ia berharap Steve menyadari kesalahan yang telah dilakukan dan berhenti mengganggu kehidupannya. Saat ini, Desi sudah bertekad untuk merelakan Steve dan melangkah maju meskipun berat. Bahkan, ia sudah memaafkan Steve walaupun rasa sakit itu masih terasa kuat setiap kali mengingat kejadian yang menghancurkan seluruh harapannya. Benar kata orang, memaafkan memang lebih mudah daripada melupakan.
Selama perjalanan, Desi berharap Mike tidak bersikap aneh hari ini supaya ia bisa bekerja dengan baik. Setelah melewati perjalanan yang tidak terlalu macet, akhirnya mobil berhenti di depan gerbang besar dan kokoh. Mengetahui kehadiran mereka, gerbang terbuka otomatis, dan mobil langsung bergerak masuk.
Takjub. Itulah yang terucap di hati Desi saat pertama kali memasuki area kediaman Mike. Sebuah taman yang luas dan tertata rapi di sebelah kanan serta kolam ikan besar di sisi kiri, langsung menenangkan perasaan Desi yang sempat risau karena Steve. Barisan pagar hidup yang terpotong rapi di sepanjang kanan dan kiri jalan, mengiringi perjalanan mereka menuju pilar-pilar besar berwarna putih yang terlihat begitu kokoh di bagian halaman pintu masuk rumah.
Bukan hanya kondisi rumah yang mampu membuat Desi takjub. Mike, yang sudah berdiri di depan pintu besar berwarna keemasan, membuat Desi terpaku, bahkan terpesona seketika. Penampilan Mike terlihat sangat berbeda hari ini. Biasanya, Mike mengenakan setelan jas mahal. Namun kali ini, pria itu hanya mengenakan celana panjang jeans berwarna putih gading dengan polo shirt biru muda yang melekat sempurna di tubuh atletisnya.
Matanya pun tertuju pada lengan Mike yang berotot, tetapi tidak terlalu besar seperti para binaragawan. Dalam sekejap, Desi langsung mengalihkan pandangannya dari otot-otot itu karena gelenyar aneh yang menjalar di tulang belakangnya membuat bulu kuduk Desi meremang seketika. Ia pun memperhatikan rambut Mike yang tidak tersisir rapi seperti biasa namun tak menghilangkan ketampanan pria itu sedikit pun. Bahkan, membuat Mike terlihat liar dan begitu berbahaya. Sementara, sepatu kets putih yang pria itu kenakan, menambah nilai kesempurnaan penampilannya.
Saat mobil berhenti di halaman depan rumah, Mike pun segera masuk. Desi masih belum bisa melepaskan pandangannya dari pria itu, dan ia mengutuki dirinya karena begitu mudah terhipnotis oleh aura maskulin serta ketampanan Mike. Dia klienmu, Desi! tegur Desi pada dirinya sendiri, lalu memaksakan pandangannya menatap lurus ke depan.
“Kalian terlambat!” tegur Mike dingin, wajahnya terlihat kesal. Seketika itu pula, Desi menghapus penilaian sempurnanya pada Mike. Sikap sinis dan arogan itu benar-benar membuat penilaian positif Desi menjadi negatif.
“Jalanan macet. Kalau mau cepat, ya pakai pesawat jet,” celetuk Desi berusaha terdengar santai.
“Great idea!” balas Mike sinis, masih kesal.
Akhirnya, sopir langsung membawa mobil keluar dari area kediaman Mike yang megah menuju lokasi gathering di Bandung. Dalam perjalanan, Mike tidak berbicara sama sekali, bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Penasaran, Desi pun melirik dan mendapati Mike yang terus menatap ke luar jendela. Setidaknya, saat ini Desi bisa merasa sedikit tenang karena Mike tidak bertingkah laku aneh seperti kemarin. Namun begitu, ingin rasanya ia berbicara dengan Mike demi membunuh rasa bosan selama perjalanan.
Desi memperhatikan sikap Mike yang cukup kaku dan dingin hari ini. Ia tidak tahu apa yang sedang pria itu pikirkan, tetapi sepertinya ada sesuatu yang mengusik pikiran Mike. Dari sudut matanya, Desi melihat Mike sesekali mengeluarkan ponsel dari saku dan membalas beberapa pesan masuk, sebelum kembali terdiam dan memandang ke luar jendela.
“Mike,” panggil Desi pelan. Pria itu langsung memalingkan wajah ke arah Desi, lalu menatapnya dengan tatapan paling dingin yang pernah ia lihat.
“Boleh aku minta sesuatu?” lanjut Desi cepat.
“Apa?” tanya Mike datar dan tegas. Desi pun gugup seketika.
“B-bolehkah nanti … maksudku, bisakah kamu membiarkan aku mengerjakan semua ini sendiri? A-aku cuma mau … maksudku, aku ingin mengerahkan kemampuanku dalam mengurus acara ini,” jelas Desi, gugup.
“Kemampuanmu?” ulang Mike dengan nada mengejek.
“I-iya. Maksudku … setidaknya berikan kesempatan bagiku untuk melakukan tugas ini. A-aku berjanji akan memberikan yang terbaik,” mohon Desi sambil terus menjaga sikap tenangnya.
“Ok,” jawab Mike singkat.
Meskipun tak menyangka kalau Mike akan secepat itu menyetujui permintaannya, setidaknya Desi bisa bernapas lega karena bisa bekerja tanpa harus dibayang-bayangi oleh keberadaan Mike di sisinya. Ia bahkan berharap agar Mike tetap bersikap dingin seperti ini. Setidaknya, sikap itu membuat Mike tidak peduli, dan ia bisa bekerja sesuai dengan kemampuannya.
“Nanti ada orang kepercayaanku, namanya Alex. Dia akan menemani dan membantumu. Kalau kamu memerlukan sesuatu, kamu bisa meminta bantuan padanya,” lanjut Mike datar. Mendengar ucapan itu, perasaan senang yang baru saja Desi rasakan pun menguap seketika.
“T-tapi tadi katamu—”
“Aku tidak akan mengganggumu,” potong Mike datar, “ya, aku memang tidak akan mengganggumu hari ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus kutangani. Tapi, aku tetap akan menyuruh seseorang untuk membantumu. Aku tidak akan membiarkanmu mengerjakan sesuatu tanpa pengawasanku.”
“Tapi, aku bisa mengerjakan semua ini, Mike!” protes Desi kesal.
“Hmm,” gumam Mike tak peduli, lalu mengalihkan pandangan dari Desi ke luar jendela. Pria ini benar-benar aneh! gerutu Desi kesal.
*****
BAB 9
Perjalanan terasa begitu membosankan. Sesekali Desi mengajak pria itu bercengkerama demi mengisi kebisuan di antara mereka, tetap saja Mike memilih untuk diam. Terakhir kali Desi mendengar pria itu berbicara cukup panjang hanyalah ketika ia meminta agar Mike tidak mengganggunya saat melakukan pekerjaan.
Akhirnya, Desi memutuskan untuk mengisi waktu dengan bermain ponsel dan berkirim pesan pada kedua sahabatnya. Ia bahkan sempat tertidur sejenak. Suasana sunyi yang membosankan, ditambah mata yang mulai berat karena semalam tidurnya kurang nyenyak gara-gara mimpi buruk, membuat Desi tak sanggup lagi menahan kantuk.
Tiba-tiba, Mike membangunkannya ketika mereka memasuki area hotel. Dengan segera, Desi merapikan penampilan, terutama rambut dan wajahnya. Betapa takjub dan terpukaunya ia saat mobil melaju di tengah barisan pohon yang ada di sisi kanan dan kiri jalan ketika menuju pintu masuk hotel yang ternama nan megah.
Keindahan alam yang melingkupi area itu langsung menyegarkan mata Desi dalam sekejap. Hotel itu terletak di dataran tinggi yang sama sekali belum pernah ia kunjungi. Lokasinya yang berada tepat di tengah pegunungan asri, membuat Desi jatuh cinta dengan mudahnya.
Pohon-pohon tinggi, besar, dan rindang, mengelilingi hotel bak perisai indah. Suasana tenang dan udaranya yang sejuk mampu membuat siapa pun betah berlama-lama di sini. Kicauan burung dan desiran angin lembut yang menyentuh dedaunan pun terdengar bak alunan musik yang menenangkan.
Saat mobil berhenti di depan pintu masuk, Mike segera keluar dan membukakan pintu untuk Desi. Dengan mata yang masih terpaku pada keindahan alam tempat itu, Desi mengeluarkan kakinya satu per satu, kemudian menghirup segarnya udara pegunungan.
Desi salut dengan pemilihan lokasi hotel ini dibangun. Udara yang mengelilingi terasa begitu sejuk dan sedikit dingin. Bahkan di siang hari seperti ini, Desi bisa merasakan angin sejuk bertiup lembut menyentuh kulitnya. Tak salah memang jika hotel ini memperoleh bintang lima untuk kemegahan dan keindahannya.
Setelah beberapa saat mengagumi, akhirnya dengan berat hati ia memasuki hotel melewati pintu kaca besar yang terbuka secara otomatis. Semua karyawan dan petugas troli yang berpakaian rapi, menyambut kedatangan mereka dengan senyum ramah. Sekali lagi, Desi kembali takjub dengan apa yang ia lihat. Matanya memperhatikan interior hotel yang terlihat mahal dan tertata sempurna. Bisa dikatakan, ini adalah hotel termegah yang pernah Desi kunjungi.
Lantai marmer hitam di bawah kakinya terlihat bersih dan mengilap, sehingga Desi bisa melihat pantulan dirinya setiap kali melangkah. Ia pun mendongak, menatap lampu kristal yang tergantung di langit-langit, begitu besar dan indah. Puas menikmati keindahan lampu kristal, Desi mengalihkan pandangannya ke sebuah grand piano berwarna hitam pekat yang diletakkan tak jauh dari pintu masuk, tampak begitu elegan.
Hatinya tersentuh saat pianis memainkan lagu yang indah, lembut, dan mendayu, bagaikan alunan nada penuh cinta. Desi langsung teringat akan masa kecilnya. Dulu, waktu ia berusia tujuh tahun, Desi ingin sekali mahir bermain piano. Namun, karena keterbatasan biaya dan kondisi ayah yang belum memiliki pekerjaan tetap, Desi terpaksa menenggelamkan impiannya begitu saja.
Setibanya di depan meja resepsionis, Desi mencoba untuk memusatkan pikiran pada tujuan awal kedatangannya ke tempat ini. Seorang pria paruh baya berjalan menghampiri mereka dengan beberapa map hitam dalam pelukan. Tubuh pria itu terlihat bugar di balik kemeja hitam yang menutupi tubuh rampingnya. Wajahnya pun terlihat ramah, berbeda sekali dengan Mike yang selalu memiliki aura kejam dan menyeramkan.
“Selamat siang, Pak Larosky,” sapa pria itu, “ini berkas yang Bapak minta.”
“Siang, Alex. Ini Desi,” sahut Mike datar, memperkenalkan sambil menerima map dari Alex. Desi membalas senyuman hangat yang Alex berikan padanya.
“Tolong, kamu siapkan apa yang dia inginkan,” perintah Mike cepat sebelum melangkah pergi, meninggalkan Desi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
Sikap Mike hari ini benar-benar berbeda, terlihat cuek, sangat pendiam, dan menjaga jarak. Berbeda sekali dengan kemarin, yang begitu tegas dan menuntut. Bahkan, setiap kata yang pria itu ucapkan terasa begitu menakutkan. Mike juga tak segan menggoda dan menciumnya. Meskipun memang ini yang Desi harapkan, tetapi sebagian dari dirinya menginginkan Mike kembali bersikap seperti kemarin.
“Mari ikuti saya, Bu Desi,” ajak Alex sambil menunjukkan arah.
“Panggil Desi saja, Pak,” sambut Desi diiringi senyum ramah. Alex membalas senyumannya, lalu mereka pun berjalan menuju pintu lift yang berada tidak jauh dari meja resepsionis. Masih penasaran dengan perubahan sikap Mike, ia pun menoleh ke belakang dan menemukan pria itu berbelok, lalu menghilang di balik tembok besar.
Seberapa pun kesalnya ia akan sikap otoriter dan dingin Mike, tetap saja pria itu mendominasi benaknya. Namun, Desi mencoba untuk bersikap profesional. Sekuat mungkin ia menghapus bayangan Mike dari kepalanya karena ia harus berkonsentrasi pada tugas pertamanya ini. Ia harus memastikan bahwa semua berjalan sesuai rencana demi menjaga nama baik Belle Organizer. Setibanya di depan lift, Alex menekan tombol yang ada tepat di dinding, dan mereka menunggu sesaat.
“Bapak sudah lama kerja di sini?” tanya Desi mencoba mengisi keheningan.
“Saya lebih senang disebut ‘mengabdikan diri’ dibanding ‘bekerja’. Karena, saya sudah berada di tengah keluarga Larosky bahkan sebelum Pak Mike Larosky lahir, Mbak,” jelas Alex dengan senyuman kecil yang menimbulkan kerutan-kerutan halus di wajahnya.
“Wow! Sudah lama berarti, ya,” balas Desi kagum.
Pintu lift pun terbuka dan mereka segera melangkah masuk. Desi terdiam sejenak, menghitung berapa usia Alex saat ini. Sesekali, ia melirik Alex yang berdiri tepat di depannya. Pria itu mungkin berusia lima puluhan, tetapi masih terlihat sehat dan segar.
Keberadaan Alex yang merupakan orang kepercayaan Mike membuat sisi penasaran Desi bangkit. Ingin rasanya ia menggali informasi tentang Mike, terutama setelah perubahan sikap pria itu padanya. Namun, Desi segera mengurungkan niat dan tetap menjunjung tinggi sikap profesionalismenya.
Akhirnya, pintu lift pun terbuka ketika tiba di lantai yang mereka tuju. Suasana hening dan menenangkan, menyelimuti Desi ketika melangkah di koridor yang tidak terlalu panjang. Karpet berwarna merah hati yang melapisi lantai, meredam langkah kaki mereka saat menuju pintu yang berada tepat di ujung koridor.
Di sebelah kanan Desi, tergantung dua pigura besar berisi lukisan pemandangan gunung. Sedangkan di sebelah kirinya, terdapat dinding kaca yang menampilkan pemandangan alam di luar. Oh, Tuhan! Aku tidak tahu apa aku bisa melupakan ini, tapi aku benar-benar takjub dengan semua keindahannya, batin Desi sambil terus berjalan dan melemparkan tatapan memuja ke luar bangunan.
Tanpa banyak bicara, Alex membukakan pintu yang terbuat dari kayu, lalu mempersilakan Desi masuk. Ruangan yang luas berbentuk persegi dengan dinding kaca di ketiga sisi, menampilkan pemandangan pegunungan yang sangat memukau mata. Namun, langkah Desi terhenti seketika saat ia baru saja memasuki ruangan tersebut.
Betapa tercengangnya Desi saat melihat isi ruangan itu. Meja-meja bundar yang ditutupi kain putih sudah tertata rapi. Pita merah hati yang menghiasi kursi-kursi di sekeliling meja pun sudah disusun sesuai perencanaannya. Kalut, Desi segera menghitung jumlah kursi yang ternyata sesuai dengan jumlah peserta gathering.
Kepanikan yang melanda, membuat napas Desi sesak dan kepalanya pening. Sambil berjalan ke tengah ruangan, ia menatap seluruh dekorasi dengan mata terbelalak dan mulut terbuka. Pandangannya tertuju pada panggung kecil dengan enam sofa single putih, serta sebuah podium yang ditutupi kain putih dan pita merah. Spanduk acara pun sudah terpasang rapi di dinding panggung. Semuanya sudah siap, persis seperti yang ia inginkan. Vendorku sama sekali belum menerima satu pun arahan dariku. Lalu, kenapa semua bisa tersusun seperti ini? pikir Desi bingung.
“Kenapa, Mbak Desi?” tanya Alex.
“I-ini …,” jawab Desi sambil melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan, “siapa yang menyiapkan semua ini?”
“Oh, Pak Larosky yang menyuruh saya untuk menyiapkan semua, Mbak,” jawab Alex tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Lalu … untuk apa aku ke sini?” tanya Desi penuh amarah. Ia segera melangkah menuju panggung dan menaikinya. Tak berniat menginterupsi letupan amarah yang saat ini membakar Desi, Alex mengikuti langkahnya, lalu berhenti tepat di sisi panggung. Pria itu terlihat tenang sambil terus menatapnya.
“Pak Larosky hanya meminta saya untuk menunjukkan ruangan ini. Jika tidak sesuai dengan keinginan Mbak Desi, saya tinggal menyuruh seluruh tim untuk merombaknya saat ini juga,” jelas Alex tenang.
“T-tapi … tapi bagaimana dia bisa tahu? I-ini semua … semuanya sama seperti yang aku susun,” tanya Desi kebingungan.
Kepala Desi terasa berkunang-kunang setelah mengetahui keanehan yang terpampang jelas di hadapannya. Tarikan napas yang pendek serta debaran jantung yang begitu cepat pun memompa kepanikannya makin menjadi-jadi. Marah. Hanya itu yang ia rasakan saat ini. Satu hal yang harus ia lakukan sekarang adalah menemui Mike dan menuntut penjelasan.
“Maaf, Mbak Desi. Semalam Pak Larosky hanya memberikan instruksi, dan saya langsung melaksanakannya,” jelas Alex jujur.
“Tapi … tapi bagaimana bisa?”tanya Desi histeris, tidak sanggup lagi mengendalikan rasa kesal dan geram dalam dirinya. Ia merasa dipermainkan. Semua yang ada di hadapannya saat ini seakan-akan menunjukkan bahwa Mike tidak memercayai kemampuannya. Desi merasa terhina, dan ia tak terima diperlakukan seperti ini.
Desi bergegas turun dari panggung, kemudian melangkah cepat keluar dari ruangan. Ia bahkan sampai berlari menuju lift karena sudah tak sabar ingin meluapkan amarahnya pada Mike. Setibanya di depan lift, ia menekan geram tombol beberapa kali. Amarah yang memuncak, membuat sekeliling Desi terasa seperti berputar. Pijakannya pun mulai terasa goyah, tetapi ia berusaha berdiri tegap demi menunjukkan kekuatannya.
Setelah pintu terbuka, Desi segera masuk, lalu menekan tombol ke lantai dasar. Sementara, Alex terus mengikuti langkahnya tanpa berusaha memberi penjelasan lebih. Ketika tiba di lantai dasar, pintu lift pun kembali terbuka. Dengan penuh amarah, Desi langsung berlari menuju meja resepsionis yang sedang melayani beberapa tamu.
“Permisi. Boleh saya minta daftar tamu untuk acara gathering hari Sabtu ini?” pinta Desi cepat.
“Maaf, tidak bisa, Bu. Ini merupakan rahasia internal hotel,” jawab wanita itu dengan sopan diiringi senyum ramah.
“B-berikan sekarang, atau saya panggil pemilik hotel ini!” perintah Desi, suaranya meninggi. Si resepsionis melirik Alex yang langsung mengangguk, memberikan persetujuan. Akhirnya, wanita itu meminta Desi untuk menunggu sebentar selagi membuka data tamu di komputer.
Kepalanya terasa makin berat. Desi memejamkan mata sejenak sembari mencengkeram pinggiran meja sebagai pegangan demi menjaga keseimbangan. Tarikan napasnya yang pendek serta keringat dingin yang mengalir di pelipisnya, menunjukkan bahwa sesungguhnya tubuh Desi sudah sangat lemah. Akhirnya setelah menunggu beberapa saat lamanya, si resepsionis memberikan beberapa lembar kertas kepada Desi, yang ia terima dengan secepat kilat.
I-ini … semua ini … semua daftar tamu dan peletakan kamarnya. Semua sudah terbagi dengan rapi. Semua … sama seperti yang kususun. Apa maksud semua ini? Kenapa Mike bisa melakukannya? Kenapa? tanya Desi dalam hati sembari berpikir keras.
Ini aneh! Mike hanya manusia biasa. Dia memang memiliki kekuasaan dan harta melimpah untuk mempersiapkan semua ini. Tapi … tidak mungkin bisa sama persis dengan apa yang kurencanakan. Semua ini aku yang susun sendiri. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang hal ini, pikir Desi lagi. Akhirnya, Desi meletakkan daftar tamu di meja resepsionis dengan napas terengah-engah.
“Aku … ingin bertemu … Mike,” kata Desi lemah sambil memaksa langkahnya yang goyah menjauh dari meja resepsionis.
“Tapi, Mbak Desi. Pak Larosky tidak suka diganggu saat beliau berada di ruang kerjanya,” jelas Alex seraya mengikuti langkah Desi.
“Aku … mau … ketemu—”
Desi tak mampu melanjutkan kalimatnya. Pandangannya gelap seketika, sementara tubuhnya terasa seperti melayang. Akhirnya, ia pun tak sadarkan diri.
*****
“Ingat pesanku!” tukas wanita di balik telepon.
“Iya. Aku akan melakukan apa yang kamu katakan, Bubble,” jawab Mike lembut.
“Yang paling penting, kamu harus menjaga perasaanmu. Jangan sampai semua rencana ini berantakan!” ingat Bubble.
“OK. OK. Aku tidak akan mengecewakanmu,” janji Mike.
“Love you so much, Mike,” ucap wanita itu.
“Love you too, Bubble,” balas Mike.
Mike mengakhiri pembicaraan, lalu meletakkan ponsel di samping laptop. Ia kembali berkutat dengan beberapa berkas anak perusahaan yang Alex berikan sebelumnya, tetapi ia sulit berkonsentrasi. Pikirannya terus tertuju pada Desi.
Ia bisa membayangkan reaksi dan raut Desi saat mengetahui bahwa ia sudah mempersiapkan semuanya. Marah? Mungkin. Kaget? Sudah pasti. Namun, semua ini ia lakukan untuk membantu Desi dan demi kelancaran rencananya. Senyum kecil menghiasi wajah Mike saat membayangkan betapa menggemaskannya raut Desi yang mengerut kesal padanya.
Mike tidak mengerti mengapa ia begitu senang menggoda Desi. Ada sesuatu di diri wanita itu yang membuat Mike tersentuh. Membuat dirinya selalu bersemangat.
Terbersit ingatan saat ia mencium Desi di restoran. Semuanya terasa begitu berbeda. Bibir Desi yang manis dan memabukkan, membuatnya ingin terus mencium dan merengkuh wanita itu dalam pelukan. Bibirnya yang lembut, membuat Mike tergila-gila. Tatapan mata Desi ketika marah atau ketakutan pun terpancar begitu jelas. Meskipun ia harus menerima tamparan, tetapi hal itu tidak menyurutkan perasaan Mike sama sekali. Ia malah makin ingin menarik dan menaklukkan Desi hingga tak bisa hidup tanpa dirinya, bahkan membuat wanita itu tergila-gila.
Ya, ia ingin sekali melakukan hal itu. Mike juga selalu memperhatikan sikap Desi yang gugup dan salah tingkah setiap kali ditatap tajam olehnya. Cara bicara yang gelagapan, membuat Mike ingin memagut bibir indah wanita itu dan mengulumnya hingga puas. Desi benar-benar membuatnya hilang kendali, dan itulah yang membuatnya berbeda dari wanita lain.
Mike menyandarkan punggung, lalu mengembuskan napas cepat. Ini semua benar-benar jauh dari prediksi. Ia memang berencana untuk menaklukkan, mengendalikan, bahkan sebisa mungkin membuat Desi jatuh ke pelukannya. Sialnya, malah ia yang tak bisa mengendalikan diri serta gairahnya setiap kali berada di dekat Desi. Bahkan, hanya membayangkan wajahnya saja bisa membuat jantung Mike berdebar cepat.
Namun dengan berat hati, ia harus menahan diri untuk tidak menyentuh bahkan menatap Desi. Mike berusaha menjaga jarak, meskipun di dalam hati ia ingin sekali melakukan yang sebaliknya. Sudah beberapa hari ini Mike tidak bercinta, dan berada di dekat Desi dapat berakibat fatal bagi kendali serta kewarasan dirinya.
Desi membuatnya tidak tertarik meniduri wanita-wanita lain. Biasanya ia pasti memanggil satu atau dua wanita untuk memuaskan gairahnya. Namun setelah bertemu Desi, gairahnya pada wanita lain seakan-akan menghilang. Mike bingung dengan yang ia alami saat ini. Rasanya seperti ada perasaan baru yang muncul dan mengubah dirinya begitu saja. Perasaan apa? Mike pun masih takut untuk mengakui. Namun satu hal yang pasti, ia menginginkan Desi dan tidak akan berhenti sampai wanita itu menjadi miliknya.
*****
BAB 10
Ketukan di pintu membangunkan Mike dari lamunan liarnya. Pintu pun terbuka, dan Alex masuk ke ruangan dengan raut datar.
“Mana Desi?” tanya Mike bingung dengan kehadiran Alex.
“Mbak Desi pingsan setelah melihat ruangan, Pak. Saat ini beliau sedang beristirahat di suite room lantai 10,” jelas Alex tenang.
“Apa yang terjadi?” tanya Mike terkejut seraya beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu lift pribadi.
“Dokter jaga di hotel ini sudah memeriksa kondisinya, Pak. Tekanan darah Mbak Desi sangat rendah karena kurang istirahat dan kondisi perutnya kosong. Tapi, dokter sudah memberikan infus untuk mengembalikan cairan tubuh Mbak Desi,” jelas Alex sambil berjalan mengikuti langkah Mike yang tergesa-gesa menuju lift pribadi.
Mike menekan tombol lift, dan pintu pun langsung terbuka. Setelah berada di dalam, Mike segera menekan tombol ke lantai 10, dan lift langsung bergerak naik. Sesampainya di sana, Mike bergegas mengikuti langkah Alex dengan perasaan cemas.
Saat mereka tiba di salah satu pintu, Alex langsung mempersilakannya masuk. Mike melangkah melewati ruang tengah, lalu berbelok menuju ruang tidur dan menemukan Desi yang terlelap dengan wajah pucat, tampak begitu lemah dan ringkih. Dengan rasa perih di dada, Mike duduk di pinggir tempat tidur, tepat di samping tubuh Desi yang masih belum merespons kehadirannya.
“Apa ada yang perlu saya siapkan, Pak Larosky?” tanya Alex datar.
“Siapkan makanan untuknya dan tinggalkan kami berdua,” perintah Mike. Alex mengangguk patuh, lalu berbalik dan meninggalkannya dengan Desi. Mike terus mengamati Desi yang terlihat damai di balik pucatnya wajah cantik itu.
Mengetahui bahwa Desi pingsan, entah mengapa Mike langsung cemas dan khawatir. Rasa bersalah pun mulai menyelimuti. Ia tidak menyangka kalau Desi akan pingsan setelah melihat ruangan itu. Sial! Apakah yang kulakukan itu berlebihan? Kenapa jadi begini? Apa yang harus aku lakukan? pikir Mike sambil mengelus lembut punggung tangan Desi.
Namun, rasa bersalah itu lambat laun berubah menjadi rasa ingin memiliki saat pandangannya terpaku pada bibir Desi yang merekah dan terbuka sedikit. Pandangannya pun mulai menjalar ke bawah dan berhenti tepat di dada Desi yang bergerak lembut naik-turun ketika bernapas. Oh, God! Kenapa tubuhku bereaksi seperti ini? Kenapa aku jadi menginginkan Desi lebih dari yang pernah kubayangkan sebelumnya? Kenapa? batin Mike bingung.
Gelenyar gairah mulai merambat ke setiap jengkal tubuh Mike, merespons tatapannya. Mike menggenggam jemari Desi erat-erat, lalu memejamkan mata. Ia berusaha keras mengendalikan gairahnya yang makin berkobar. Sial! Seharusnya aku panggil saja wanita-wanita itu. Setidaknya mereka bisa memuaskanku untuk sementara. Sial! Sial! Sial! batin Mike geram.
Matanya kembali terbuka dan langsung terpaku pada bibir Desi yang begitu menggoda kewarasannya. Mike menggemeretakkan gigi, menahan gemas yang begitu kuat. Namun, letupan gairahnya membuat Mike sulit menolak bibir itu. Ia ingin merasakan kembali manis dan lembutnya bibir Desi.
Dengan susah payah, ia menahan hasratnya, tetapi Mike tak sanggup. Gairah itu terlalu besar hingga ia pun takluk dan menyerah. Perlahan namun pasti, Mike mengangkat tangan kanannya, lalu membelai lembut pipi Desi. Gelenyar hangat merambat dari tangan hingga sekujur tubuh Mike saat merasakan halusnya pipi itu di bawah tangannya. Dengan lembut dan penuh kehangatan, Mike menjalankan belaiannya menuju bibir Desi.
Ibu jarinya mengusap bibir bawah Desi dengan lembut. Bibir itu terasa begitu hangat dan kenyal. Bahkan, Mike sampai harus menggigit bibirnya sendiri sembari membayangkan betapa luar biasanya sensasi yang ia rasakan ketika mengulum dan menarik bibir Desi hingga wanita itu mengerang nikmat.
Sesaat kemudian, Mike mengembalikan tatapannya ke mata Desi yang masih terpejam. Ia menimbang sejenak, memutuskan apakah berhenti atau tetap mencium bibir Desi demi memuaskan rasa penasarannya yang membuat tingkat kewarasannya makin menipis. Akhirnya, Mike memberanikan diri untuk mendekat, lalu membungkukkan tubuh, dan mengecup bibir Desi sekilas.
Setelah mengecup, Mike langsung menjauhkan wajahnya sedikit dan menjaga jarak seraya menahan diri agar tidak melakukan sesuatu yang lebih. Namun, jantungnya yang berdebar cepat, memompa gairah makin memuncak hingga ke kepala. Menyadari bahwa mata indah itu masih terpejam, ia pun berniat merasakan bibir Desi kembali.
Dengan sedikit keraguan, Mike kembali mendekat dan mulai mendaratkan kecupan-kecupan lembut sambil terus berharap agar Desi tidak terbangun, setidaknya sampai ia puas menikmati bibir indah itu. Mike melirik untuk yang terakhir kali ke mata Desi, memastikan kalau wanita itu masih terlelap.
Seketika itu pula, keraguannya lenyap saat melihat mata Desi yang masih terpejam. Ia pun makin leluasa menguasai bibir Desi. Kelembutan, kehangatan, serta kekenyalan yang Mike dambakan, menyentuh bibirnya dengan sempurna. Ia terus mencium bibir Desi dan menikmati sensasi melayang yang membuatnya menginginkan lebih dari sekedar ciuman. Mike menjauhkan bibirnya sedikit, lalu menjilat bibir Desi dengan lembut. Bibir Desi yang terbuka lebih lebar dan basah, benar-benar membuat Mike makin menggila. Ia pun makin memperdalam ciumannya, lalu menarik lembut bibir bawah Desi.
Damn! Ini benar-benar nikmat. Bahkan, hanya menciumnya saja membuatku ingin meledak, geram Mike dalam hati. Jantungnya berdebar makin cepat, memompa adrenalin yang berpadu sempurna dengan gairahnya. Kejantanannya yang mengeras di bawah sana pun mulai menuntut untuk dipuaskan.
Mike memejamkan mata, menikmati dan mengecap setiap rasa manis yang begitu memabukkan. Aroma tubuh Desi yang memenuhi indra penciumannya, bak morfin yang memacu gairah Mike makin tak terkendali. Mike membuka mulut Desi makin lebar dengan bantuan lidahnya. Dan, ketika lidah mereka saling bersentuhan, tubuh Mike terasa seperti terbakar. Kepalanya terasa pening akibat gairah yang begitu memuncak di kepala. Tangan Mike, yang sebelumnya meremas jemari Desi pun mulai merambat ke pinggang wanita itu.
Oh, Tuhan! Apakah aku sudah gila? batin Mike, takjub akan sulitnya mengendalikan kewarasan serta seluruh saraf tubuhnya saat ini. Tanpa diduga, lidah Desi menyambut permainan lidah Mike dengan gerakan kecil dan lemah. Terkejut dengan hal itu, Mike segera melepaskan ciumannya, lalu menjauh sedikit, dan menatap kembali mata Desi yang masih terpejam.
Sejenak, Mike curiga kalau sebenarnya Desi sudah siuman dan berpura-pura pingsan. Namun, secepat kilat ia menepis rasa curiga itu dan kembali menyatukan bibir mereka. Sambutan permainan lidah Desi membuat ciuman mereka makin panas dan liar. Mike terus mengulum bibir Desi, menjelajahinya sesuka hati, menarik dan menggigitnya dengan lembut, serta mengecapnya hingga puas, meskipun Mike menyadari kalau ia tidak akan pernah puas.
Mike mulai tak bisa mengendalikan dirinya lagi. Ia melepaskan tautan bibir mereka, mengecupi ujung-ujung bibir Desi sesaat, sebelum memberanikan diri untuk mencumbui leher serta tengkuk wanita itu. Erangan kecil yang melesat dari bibir Desi malah membuat Mike makin menggila. Refleks, Desi menengadahkan kepala, memberikan ruang pada Mike agar bisa menjelajah dan menjilati leher itu dengan leluasa. Ia pun terus mengecup dan mengisap leher Desi dengan lembut, hingga wanita itu mendesah nikmat dan bergumam kecil.
“Steve …,” desah Desi pelan, tetapi Mike tak menghiraukan ucapan itu karena terlalu sibuk dengan bibirnya yang mulai menjalar makin ke bawah, sementara tangannya mulai meraba kancing kemeja Desi dan berusaha membukanya satu per satu. Bagian atas kemeja yang sudah terbuka, menampilkan belahan payudara Desi di balik bra hitam yang terlihat begitu menggoda. Mike menjalankan kecupannya makin lama makin ke bawah, menuju belahan payudara Desi yang terasa hangat dan lembut.
“Steve …,” gumam Desi lagi.
Mike, yang tidak memedulikan gumaman Desi, malah menghirup aroma tubuh wanita itu dalam-dalam, lalu membenamkan wajahnya di antara belahan payudara. Dengan liar, ia menjilati belahan tersebut, lalu mengecup dan mengisapnya dengan lembut.
“Steve …,” desah Desi sedikit lebih keras, yang akhirnya menghentikan cumbuan Mike. Desahan itu benar-benar mengusik konsentrasi dan membangkitkan rasa penasarannya. Namun setelah menunggu beberapa detik, Desi malah terdiam. Mike pun memutuskan untuk kembali menjilati tengkuk Desi demi memancing gumaman itu.
“Steve …,” desah Desi pelan.
Amarah dan kebencian langsung menyergapnya. Mike mengangkat wajah dan menegakkan tubuh. Ia tidak terima nama bajingan itu terucap saat Desi menikmati setiap ciuman, kecupan, dan isapan yang ia berikan. Mike menatap Desi sejenak sembari menekan gelora panas di sekujur tubuhnya. Desi, yang masih terlelap dengan bibir basah dan menggoda, membuat rasa kesalnya makin besar.
Dengan sangat terpaksa, Mike memutuskan untuk menyudahi kegilaannya. Dengan hati-hati, Mike mengancingi kemeja Desi yang terbuka. Setelah memastikan pakaian Desi terkancing dengan benar, Mike langsung beranjak dari tempat tidur, lalu berdiri sejenak sambil menatap wajah Desi yang mengerut lemah, mulai sadarkan diri.
Mike segera melangkah menjauh dari tempat tidur, berusaha menjaga jarak dari tubuh Desi yang begitu menggoda ketenangan batinnya. Kelopak mata Desi terbuka perlahan-lahan, lalu mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya menyadari kehadiran Mike. Desi mencoba bangun dari posisi tidur, tetapi wajah cantik itu langsung mengernyit kesakitan.
“Kenapa?” tanya Mike khawatir. Ia pun kembali duduk di samping Desi dan menatap wanita itu dengan penuh kehangatan. Mike tidak mengerti mengapa ia begitu lemah setiap kali menghadapi Desi.
“Tidak apa-apa!” jawab Desi ketus sambil terus mengernyit, sementara Mike membantu agar wanita itu bisa duduk bersandar di sandaran tempat tidur.
“Apa yang kamu rasakan saat ini?” tanya Mike pelan.
“Marah!” jawab Desi langsung.
“Marah?” ulang Mike cepat, berusaha memasang raut datar.
“Kamu mempermainkanku, Mike!” tegur Desi lemah, sementara mata indah itu menatapnya sinis.
“Aku tidak mempermainkanmu,” bantah Mike, masih berusaha membela diri, meskipun ia tahu apa kesalahannya. Desi terdiam sesaat, lalu mengatupkan bibir. Kening wanita itu mengerut, tampak sedang berpikir. Sedetik kemudian, Desi mengusap bibir dan menyadari sesuatu yang liar telah terjadi pada bibirnya.
Mike terus menatap bibir Desi. Ingin rasanya ia menarik tubuh wanita itu dan menciumnya dengan rakus. Namun, Mike belum bisa melupakan bagaimana nama bajingan itu melesat dari bibir Desi, yang membuat tubuhnya terasa mendidih bak dibakar kobaran api. Ia ingin bibir itu hanya mengucapkan namanya saat ia mencumbu wanita itu. Ya, hanya namanya!
“A-apa kamu … kamu …?” tanya Desi ragu, lalu menghentikan pertanyaannya sambil melemparkan tatapan curiga pada Mike. Perhatian Mike kembali terpaku pada bibir Desi saat wanita itu menggigit bibir karena ragu.
“Apa?” tanya Mike parau tanpa melepaskan pandangan dari bibir Desi.
“A-apa kamu … kamu men―”
“Menciummu?” lanjut Mike tanpa memedulikan rona merah yang langsung mewarnai wajah Desi. Wanita itu mengangguk pelan dengan raut takut sekaligus bingung.
“Kalau aku bilang aku menciummu, memangnya kenapa?” tanya Mike datar, berusaha menjaga ketenangan dalam suaranya. Desi tampak berpikir keras, lalu mengalihkan pandangan dari Mike.
Rasa gemas dalam diri Mike, seakan-akan memaksanya untuk menarik wanita itu dan memberikan kepuasan yang tiada tara. Namun, ia tidak ingin Desi merasa terpaksa. Mike ingin agar Desi jatuh ke pelukannya karena keinginan wanita itu sendiri.
Mike menyadari bahwa ada rencana yang harus dijalankan, tetapi ia berusaha agar semua berjalan dengan alami. Ia akan memberikan waktu pada wanita itu agar jatuh cinta padanya. Namun, jika Desi tetap tidak bisa melupakan bajingan itu, barulah ia melaksanakan aksinya agar wanita itu bisa menjadi miliknya.
“J-jadi … kamu benar-benar menciumku?” tanya Desi gugup.
“Iya,” jawab Mike cepat, “memangnya kenapa?”
“Seharusnya k-kamu … kita tidak boleh melakukan ini!” keluh Desi lemah dengan raut memelas.
“Why not?” tanya Mike langsung.
Mike penasaran mengapa Desi terus menolaknya. Jika alasannya hanya karena hubungan pekerjaan, maka itu benar-benar tidak masuk akal. Kecuali, jika Desi masih menutup diri karena masih memikirkan pria itu.
“Ini salah, Mike! K-kamu tidak boleh melakukan ini padaku,” jawab Desi tampak sedih dan kecewa.
“Apa yang salah?” tantang Mike cepat, terus memaksa Desi untuk mengungkapkan alasan yang sebenarnya.
“Aku di sini untuk bekerja, Mike,” jelas Desi singkat.
“Iya, aku tahu. Lalu, kenapa?” tantang Mike lagi.
“Ini … ini sama sekali tidak profesional, Mike. A-aku tidak akan bisa bekerja dengan baik kalau kamu terus memperlakukan aku seperti ini,” keluh Desi frustrasi, lalu mengalihkan pandangan ke selimut yang menyelimuti tubuh wanita itu dari pinggang ke bawah.
“Memperlakukanmu seperti apa?” tanya Mike datar sambil terus menekan gelora panas dalam dadanya.
“Seperti … seperti … m-maksudku, berciuman itu tidak menunjukkan sikap profesional sama sekali, Mike,” jelas Desi malu. Mike bisa menangkap keraguan dari cara Desi berbicara.
“Anggap saja itu bonus dariku,” ujar Mike datar, sementara tatapannya terus menatap bibir Desi.
“B-bonus? Apa maksudmu?” tanya Desi cepat sembari memasang raut bingung sekaligus kesal.
“Ciuman itu,” jawab Mike tenang, “dan semua persiapan itu. Anggap saja semuanya bonus untukmu.”
“Kamu bercanda, ‘kan?” sahut Desi dengan senyum kaku.
“Nope,” jawab Mike singkat.
“L-lalu … untuk apa kamu menyewa jasaku kalau kamu bisa menyuruh bawahanmu mempersiapkan semuanya?” tanya Desi, menuntut penjelasan. Mike langsung terdiam, tidak menyangka kalau Desi akan melemparkan pertanyaan itu. Mike berpikir, berusaha mencari jawaban tepat yang bisa membuat Desi diam, tetapi tak berhasil.
“Kamu mau menjawabnya atau tidak?” tantang Desi cepat.
“Tidak!” jawab Mike tak kalah cepat.
“Oh, OK. Kalau begitu aku akan pulang sekarang!” ucap Desi tegas, lalu menyibakkan selimut, berniat turun dari tempat tidur. Dengan cepat, Mike menggenggam tangan Desi. Namun, wanita itu mengempaskan tangannya dengan kasar.
“Apa lagi?” tantang Desi lagi.
“Jangan pergi,” mohon Mike pelan.
“Buat apa aku di sini kalau bukan untuk bekerja? Aku tidak mau membuang-buang waktuku!” tolak Desi ketus.
Mike kembali terdiam. Ia berpikir keras namun entah mengapa tak satu pun alasan hinggap di kepalanya. Mike benar-benar tidak mengerti harus berbuat apa. Berada di dekat Desi membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Desi, yang sudah tidak mampu bersabar, mulai menggeram kesal.
“Ah, sudahlah! Kalau kamu tidak mau bicara, biar aku yang memutuskan!” ucap Desi kesal.
“Baiklah. Baiklah.” Mike akhirnya mengalah demi menghentikan kepergian Desi. Tatapan menuntut itu tertuju pada Mike, sementara ia terpukau sejenak akan mata hitam pekat Desi yang mampu menenggelamkan kewarasannya dalam sekejap.
Baru saja Mike ingin berbicara, suara ketukan di pintu seolah-olah mencegah niatnya. Mike menoleh ke belakang. Alex dan seorang pekerja hotel melangkah masuk sembari membawa nampan berisi makanan. Pekerja hotel itu meletakkan nampan di meja nakas, sementara Mike memilih untuk beranjak dari tempat tidur dan membiarkan Alex merawat Desi sejenak.
Ia berjalan menuju pintu kaca yang berada di ruang tengah, lalu menggesernya ke samping. Embusan angin sejuk menerpa wajahnya, sementara ia menikmati pemandangan alam yang terhampar luas di hadapannya. Rasa bangga pun selalu menghampiri Mike setiap kali memandangi keindahan alam yang mengelilingi tempat ini. Ia memang tidak pernah salah memilih lokasi ini dan menjadikannya sebuah hotel ternama.
Sesaat kemudian, Mike melangkah menuju pagar balkon, meletakkan kedua tangan di pagar, lalu menghirup kesejukan udara yang jarang ia temui di Jakarta. Mike berharap angin dingin yang melingkupi tubuhnya mampu meredam gairah serta emosi yang bergejolak dalam dada. Namun, harapan tinggallah harapan. Pengaruh Desi terhadap tubuhnya benar-benar sulit untuk dipadamkan.
Mike mencengkeram pagar balkon dengan sangat kuat, sambil terus menekan gelenyar panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Mike yakin pasti ada yang salah dengan dirinya, terutama ketika ia berada di dekat Desi. Mike jadi mudah mengalah, tak bisa berkutik, tidak bisa mengendalikan diri, bahkan tidak bisa berpikir jernih. Parahnya lagi, tubuhnya terasa seperti meleleh setiap kali bersentuhan dengan Desi. Namun, ada satu hal yang membuat Mike makin tidak tenang hingga saat ini, yaitu rasa nyaman yang hinggap di dadanya setiap kali bibirnya mencium Desi.
Ia tidak tahu mengapa semuanya terasa berbeda dengan Desi. Meskipun begitu, Mike tidak berniat mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi terhadap hati dan pikirannya, karena sejujurnya ia takut menemukan tiga kata sakral yang dapat meluluhlantakkan dunianya. Akhirnya, Mike memutuskan untuk berbalik, lalu melangkah maju dan menatap ke arah tempat tidur sembari bersandar di ambang pintu.
Saat ini, Desi sedang menikmati hidangan, sementara infus masih menempel di salah satu tangan wanita itu. Rasa cemas saat mengetahui Desi pingsan, membuat sisi protektifnya makin besar. Ia bahkan tidak ingin siapa pun menyakiti wanita itu. Mike terus memperhatikan setiap gerakan Desi. Bahkan dalam keadaan lemah, wanita itu masih tetap memesona matanya. Sial! Ada apa denganku? Kenapa aku jadi seperti ini? batin Mike, geram.
Beberapa saat kemudian, Alex mulai merapikan peralatan makan. Mike pun memutuskan untuk masuk dan kembali ke ruang tidur. Ia bisa merasakan tatapan penuh amarah yang Desi tujukan padanya ketika ia melangkah. Dengan sikap tenang palsu, Mike berdiri di depan tempat tidur dan berusaha tak menggubris tatapan itu.
“Apa ada yang bisa saya lakukan lagi, Pak Larosky?” tanya Alex datar. Mike menggeleng cepat, dan Alex pun keluar dari ruangan bersama petugas hotel.
“Kamu masih berutang penjelasan padaku!” tuntut Desi langsung saat pintu ruangan tertutup. Ia tidak tahu mengapa wanita ini jadi begitu menuntut, dan … dari mana keberanian itu datang? Sikap Desi yang seperti ini membuat Mike makin serba salah dan tak bisa berpikir.
Mike masih belum bisa menjelaskan. Ia tidak ingin Desi mengetahui rencananya. Belum waktunya. Akhirnya, Mike memilih untuk tetap diam, sementara ia bisa melihat gelagat Desi yang mulai kehabisan kesabaran.
“Apa yang kamu lakukan?” tegur Mike saat Desi menurunkan kaki dari tempat tidur. Wanita itu mulai menunjukkan sifat keras kepala yang membuat Mike kewalahan. Desi beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan sambil menyeret tiang infus.
“Mau ke mana?” tanya Mike kesal.
“Pulang! Aku sudah tidak diperlukan lagi di sini,” jawab Desi ketus.
“Duduk!” perintah Mike cepat.
“Tidak mau!” tolak Desi tegas sambil berjalan menjauh dari tempat tidur.
“Duduk!” ulang Mike seraya menekan nada suaranya.
“Tidak mau!” bantah Desi lagi dengan tatapan menantang.
“DUDUK!” perintah Mike tegas.
Mendengar nadanya yang sedikit tinggi dan keras, Desi pun tersentak kaget. Sedetik kemudian, Desi mengerut kesal, sebelum akhirnya mengentakkan kaki dan kembali ke tempat tidur. Desi duduk di pinggir tempat tidur dengan raut geram, lalu menggerutu kecil seraya memalingkan wajah darinya.
Saat ini, Desi tampak seperti gadis kecil yang sedang merajuk, benar-benar menggemaskan. Akhirnya, Mike memutuskan untuk melangkah mendekat dan duduk tepat di samping Desi. Wanita itu langsung menggeser posisi duduk, berusaha menjaga jarak dan masih membuang wajahnya.
“Aku hanya ingin membantumu, tapi sepertinya kamu tidak menyukainya. Mulai sekarang, aku akan membiarkanmu mempersiapkan acara itu sendiri. Bahkan, kamu boleh mengubah semuanya dari awal sesuai dengan keinginanmu,” kata Mike, memecah keheningan di antara mereka.
“Sungguh?” tanya Desi cepat, yang langsung menoleh ke arahnya. Mike terpaksa mengangguk, berharap agar wanita itu tidak bertanya hal yang lain. Ia memperhatikan raut tegang Desi lambat laun melunak. Secercah kelegaan pun menghampiri Mike.
“OK! Aku pegang kata-katamu,” sahut Desi berlagak tegas.
“Jadi, kamu akan tetap meng-handle acara ini dari awal sampai selesai?” tanya Mike memastikan.
“Iya. Tapi dengan satu syarat,” jawab Desi.
“Apa?” tanya Mike datar.
“Aku akan melakukannya dengan caraku, tanpa campur tangan dari pihakmu. Siapa pun itu. OK?” tegas Desi lagi.
Ingin rasanya Mike menolak, tetapi tidak bisa. Bahkan sejujurnya, ia tak sanggup melihat Desi kelelahan mengurus semua acara. Namun, jika ia terus memaksa Desi, ia yakin wanita itu pasti akan pergi menjauh. Hanya ini caranya agar rencana yang ia susun bisa berjalan lancar.
“Baiklah. Aku setuju,” jawab Mike pasrah.
Senyum kecil mulai menghiasi wajah Desi. Ia tidak menyangka begitu mudahnya membuat wanita itu tersenyum dan merasa senang. Pikiran liar pun kembali mengisi kepala Mike. Ia membayangkan bagaimana cantiknya Desi saat ia memberikan kenikmatan yang tak terhingga. Bahkan, kejantanannya merespons pikiran itu dengan cepat.
Kali ini, Mike benar-benar berusaha keras menahan gairahnya. Ia ingin memulai semua ini dengan benar. Semua harus sesuai rencana. Tidak boleh berantakan lagi. Desi harus menjadi miliknya. Harus!
*****
BAB 11
Entah apa yang mengendalikan dirinya, tetapi Desi tak mengerti mengapa ia bisa bersikap tegas, bahkan sampai membuat Mike memperbolehkannya bekerja sesuai keinginannya. Desi senang sekali sampai rasanya ia ingin memeluk pria yang duduk tepat di sampingnya saat ini. Meskipun Mike sudah membuatnya kesal dan mencium tanpa sepengetahuannya, tetapi setidaknya pria itu mau berkompromi.
“Baiklah. Sekarang waktunya aku untuk bekerja.” Suara riang Desi memecah keheningan yang terjadi selama beberapa menit setelah pria itu menyetujui permintaannya. Ia mengangkat tangannya yang masih tertusuk jarum infus ke hadapan Mike, tetapi pria itu tampak sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Mike,” panggil Desi lembut sambil menarik lengan baju pria itu, yang langsung menatapnya dengan tatapan dingin dan datar.
“Bisa panggil doktermu untuk melepaskan ini? Kurasa seharusnya dia tidak perlu memasangkan ini padaku,” celoteh Desi, mencoba mencairkan suasana sembari menyunggingkan senyum ringan.
“Dokter tahu apa yang harus dilakukan,” jelas Mike datar.
“Ya, aku tahu,” balas Desi santai, “jadi, bisakah kamu memanggilnya sekarang?”
Mike langsung berdiri dan mengangkat telepon kamar yang berada di meja nakas tepat di samping tempat tidur. Desi memperhatikan Mike yang sedang berbicara dengan seseorang. Wajahnya terlihat kaku dan dingin. Desi tidak tahu apa yang Mike pikirkan saat ini. Ingin rasanya ia bertanya, tetapi dengan cepat ia mengurungkan niatnya.
Setelah meletakkan telepon ke tempatnya, Mike berjalan menuju sofa single yang berada tak jauh dari tempat tidur, lalu duduk di sana. Desi langsung mengerutkan kening, bingung dengan sikap Mike yang kembali bersikap seperti tadi pagi. Menjaga jarak dan sangat pendiam.
Baru saja Desi berdiri, ketukan di pintu segera menghentikan langkahnya. Alex beserta seorang pria berkacamata bulat, menghampiri Desi yang kembali duduk di tempat tidur. Selama menjalani pemeriksaan singkat, Desi sesekali melirik Mike yang masih terdiam di sofa. Pria itu terus memperhatikannya dari kejauhan, membuat Desi jadi salah tingkah.
Desi segera mengalihkan perhatiannya dari Mike, dan mendengarkan nasihat dokter. Setelah melepaskan jarum infus dari tangannya, Alex dan si dokter segera pamit, meninggalkan mereka berduaan saja. Suasana ruangan pun kembali terasa sepi dan canggung.
Ia langsung beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan menuju meja nakas, mengambil map dan tas kerjanya. Sebelum berbalik, Desi mengeluarkan ponsel dari tas, lalu memeriksa pesan ataupun panggilan masuk. Sebuah pesan masuk dari Steve terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya.
Desi tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Kehadiran Steve di saat dirinya sudah siap untuk melangkah, membuat perasaan Desi terombang-ambing. Ia memang tak akan bisa melupakan perbuatan Steve, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, Desi masih mencintai pria itu.
Bukan hanya Steve saja yang membuatnya gelisah, tetapi Mike juga. Kehadiran Mike yang tiba-tiba menyerang masuk ke dalam kehidupannya, membuat jantung Desi berdebar cepat dan membangkitkan gairah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan, Mike membuatnya seperti hidup kembali.
Dengan susah payah, Desi mencoba mengendalikan diri. Ia membuka pesan tersebut, lalu membacanya.
‘Maafkan aku. Bisakah kita bertemu hari Sabtu ini?
Ada yang ingin aku bicarakan.’
Apa yang ingin dia bicarakan denganku? Apa dia ingin menjelaskan semuanya? Atau jangan-jangan, Steve menghubungi hanya karena ingin memberikan undangan pernikahan secara langsung? pikir Desi, terus berspekulasi.
“Ada apa?”
Suara Mike mengalihkan pikiran Desi dari Steve. Dengan cepat, Desi memasukkan ponsel kembali ke tas, lalu berbalik dan menatap Mike yang tampaknya memperhatikan dirinya sedari tadi.
“B-bukan apa-apa,” jawab Desi gugup, lalu mengembuskan napas panjang sebelum membawa tas dan mapnya menjauh dari meja. Ia menghampiri Mike yang tak melepaskan pandangan sedikit pun darinya. Desi berharap agar Mike tak menangkap rasa gugup yang timbul akibat tatapan itu.
“Aku sudah siap untuk bekerja sekarang,” ucap Desi sembari menjaga suaranya agar terdengar santai dan tenang.
“Kamu yakin?” tanya Mike ragu dengan wajah menengadah, menatap Desi yang berdiri tepat di hadapan pria itu.
“Ya. Kenapa memangnya?” tanya Desi balik.
“Hanya bertanya,” jawab Mike singkat, lalu berdiri dan melangkah melewati Desi begitu saja.
“Just do your best!” pesan Mike singkat sebelum pergi.
Untuk yang ke sekian kalinya, Desi mengembuskan napas panjang. Sejenak, ia mengamati kamar yang sangat luas dengan pemandangan indah. Ruangan ini tertata rapi, membuat siapa pun betah berlama-lama di sini. Setelah beberapa saat, akhirnya Desi keluar dari kamar itu. I’ll do my best!
*****
“Akhirnya, semua sudah beres. Sekarang tinggal kasih perubahan susunan acara ini ke MC,” ucap Desi sambil berjalan meninggalkan ruang auditorium. Desi memeriksa checklist sekali lagi, dan setelah memastikan semua sudah tertata sesuai keinginannya, ia pun keluar dari ruangan itu dengan hati riang.
Semua hadiah dan door prize akan tiba malam ini. Besok, pagi-pagi sekali ia harus tiba di hotel untuk memeriksa jumlah dan kerapian vendor dalam menyiapkan hadiah-hadiah. Desi memasukkan checklist ke tas sembari melangkah menuju lift. Ketika pintu lift terbuka, Desi segera masuk dan menunggu sejenak hingga tiba di lantai dasar.
“Sore, Pak Alex,” sapa Desi saat melihat Alex yang berdiri di depan meja resepsionis.
“Sore, Mbak Desi,” sapa Alex diiringi senyum ramah.
“Apa ada taksi yang stand by di sini, Pak?” tanya Desi santai.
“Mbak Desi mau pulang?” tanya Alex, tampak bingung.
“Iya, Pak. Soalnya masih ada beberapa hal kecil lagi yang harus dipersiapkan,” jelas Desi.
“Baiklah. Saya ke ruangan Pak Larosky dulu untuk menanyakan siapa yang akan mengantar Mbak Desi. Soalnya tadi beliau bilang kalau Mbak Desi akan menginap di sini,” jelas Alex.
Desi mengangguk dan menunggu di depan meja resepsionis, sementara Alex menghilang di balik tembok besar. Desi mengeluarkan ponsel dari tas, lalu memberi kabar kepada kedua teman dan orangtuanya. Desi harus memberitahu bunda kalau akhir minggu ini ia tidak bisa berkunjung.
Setelah mengirim pesan, ia kembali memasukkan ponsel ke tas. Desi menatap jam tangannya, sudah pukul 17.00. Ia benar-benar harus pulang sekarang. Ia tak mau terlambat sampai rumah, karena MC akan tiba di rumah sekitar pukul 21.00. Jika ia tidak berangkat sekarang, sudah pasti si MC akan menunggunya cukup lama.
“Huh, lama sekali!” gerutu Desi.
“Desi?”
Waktu seakan-akan berhenti berputar. Mendengar suara yang tak asing di telinganya, membuat tubuh Desi membeku seperti diguyur seember butiran es halus. Ia tak akan pernah melupakan suara pria yang hampir menjadi pendamping hidupnya. Tidak akan pernah!
Dengan tubuh kaku, Desi menoleh ke arah datangnya suara. Ia menemukan Steve yang hanya berjarak beberapa langkah darinya. Pria itu memasang raut kaku dan terkejut, sama seperti dirinya.
“S-steve?” ucap Desi lemah, tak percaya. Pria yang selama ini sudah menghancurkan harapan dan impiannya, berdiri dengan penampilan yang ia kenal dulu. Tak ada perubahan yang terlalu signifikan pada Steve. Rambut Steve yang hitam, pendek, dan sedikit bervolume dengan poni yang menutupi dahi, mengingatkan Desi bagaimana dulu ia sering menyisirkan jemarinya di rambut itu.
Tubuh Steve juga masih sama seperti terakhir kali pria itu meninggalkannya, tinggi dan sedikit kurus. Desi bisa mengingat bagaimana nyamannya ia saat berada dalam pelukan Steve. Sementara, wajah oval dengan dagu lancip dan mata sipit yang menatapnya saat ini, mengingatkan Desi akan tatapan penuh cinta yang dulu pernah Steve berikan padanya.
Kehadiran Steve di depan matanya, membuat dada Desi terasa sesak dan perih, karena ia mulai mengingat kembali masa-masa indahnya saat bersama pria itu. Perlahan-lahan, raut terkejut Steve berubah jadi senyum hangat. Sama seperti saat pertama kali ia memergoki pria itu berselingkuh. Amarah dan sakit hati pun mulai merajai Desi.
“Apa kabar? Apa yang kamu lakukan di sini, Des?” tanya Steve ringan, lalu berjalan menghampiri Desi yang masih berdiri kaku di depan meja resepsionis.
“Apa kamu sedang berlibur di sini?” tanya Steve santai, layaknya sahabat yang sudah lama tak pernah bertemu. Desi menggeleng lemah, masih dalam keadaan terkejut yang membuatnya tampak seperti orang bodoh.
“Aku senang bisa bertemu denganmu di sini. Apa kamu sudah menerima pesan dariku?” tanya Steve tenang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Melihat ketenangan di wajah itu, Desi pun jadi bingung. Apa bagi Steve hubungan kami dulu sama sekali tidak berarti? Apa Steve menganggap perlakuannya padaku sekadar hal yang biasa? batin Desi kecewa.
“Maaf sudah membuatmu menunggu, Honey.”
Suara Mike yang muncul tiba-tiba, membuat Desi tersentak kaget, lalu menoleh ke arah datangnya suara. Mike, yang langsung merangkul pinggangnya dengan mesra, membuat tubuh Desi menegang kaku.
Masih dalam keadaan terkejut dan sedikit linglung, Desi menatap Mike yang terlihat tenang dan berkarisma. Pria itu malah tersenyum hangat padanya, membuat napas Desi tercekat. Meskipun begitu, setidaknya Desi bersyukur, karena kehadiran Mike layaknya penyelamat yang mampu menyelamatkan harga dirinya di depan Steve.
Desi kembali menatap Steve yang ternyata memperhatikan rangkulan mesra Mike. Namun, Desi tetap bersikap tenang. Ia menyadari bahwa sikapnya saat ini bukanlah tindakan profesional, terlebih karena dirinya memanfaat Mike. Desi mengakui, dirinya sangat membutuhkan Mike saat ini. Setidaknya, dengan keberadaan Mike di sampingnya Desi merasakan ketegaran dan kekuatannya mulai tumbuh.
“Kamu lapar, Honey?” tanya Mike seakan-akan tak peduli dengan keberadaan Steve. Wajah Desi terasa panas dan merona merespons sikap mesra Mike.
“I-iya. Aku sudah kelaparan, Mike,” jawab Desi lembut, berusaha mengimbangi sikap mesra Mike.
“Desi,” panggil Steve datar namun tak menyembunyikan keterkejutannya.
“Siapa dia, Honey?” tanya Mike tenang. Tak tampak sedikit pun kepalsuan di raut Mike, yang malah membuat Desi salah tingkah. Pelukan di pinggangnya pun terasa makin erat, membuat jantung Desi berdebar sepuluh kali lebih cepat.
“I-ini Steve … dia … dia ….”
“Ohh, Steve. Ya, ya. Aku tahu,” lanjut Mike dengan senyum simpul. Mike sangat hebat dalam mengendalikan diri. Bahkan, jika dirinya ada di posisi Steve, mungkin ia benar-benar percaya kalau Mike adalah kekasihnya.
“Apa kalian …?” tanya Steve yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pertanyaan. Mike langsung mengulurkan tangan ke arah Steve, yang segera disambut oleh pria itu. Desi tak bisa berkata-kata. Ia hanya mengikuti sandiwara Mike dan berharap agar percakapan ini segera berakhir. Aura dominasi Mike memang mampu membuat siapa pun merasa kecil dan lemah. Dan, itulah yang terlihat di wajah Steve saat ini.
“Mike Larosky, calon suami Desi,” ucap Mike memperkenalkan diri, membuat Steve terbelalak, begitu juga dengan Desi. Ia tidak menyangka sama sekali kalau Mike akan mengatakan hal itu. Ia menatap Steve yang langsung melemparkan tatapan tidak percaya padanya, sebelum akhirnya menyunggingkan senyum masam.
“Steve,” balas Steve singkat. Mike kembali melingkarkan tangan di pinggang Desi, yang langsung terkesiap dengan keintiman itu.
“Apa Anda berlibur di sini?” tanya Mike berbasa-basi.
“Ehm, itu … iya … kami berlibur sampai akhir minggu ini,” jawab Steve gugup. Kami? Apa itu maksudnya Steve tidak sendirian? Dengan siapa Steve ke sini? pikir Desi cepat.
“Selamat menikmati liburanmu di hotel ini,” sambut Mike dengan senyum bangga. Tekanan ibu jari Mike di pinggang Desi, menariknya keluar dari lamunan.
“Kamu sudah siap, Honey?” tanya Mike dengan senyum hangat. Desi menoleh, lalu mengangguk sembari tersenyum kaku.
“Baiklah. Selamat menikmati liburanmu!” ucap Mike ringan, lalu melepaskan pelukan di pinggang Desi dan beralih ke pergelangan tangannya. Genggaman hangat itu menarik Desi pergi menjauh dari hadapan Steve. Desi masih belum berbicara sedikit pun. Dirinya masih terguncang dengan pertemuan itu.
Selama melangkah menuju pintu keluar, Desi bisa merasakan tatapan Steve yang terus memandangi kepergian mereka. Sopir Mike, yang melihat kedatangan mereka, segera membukakan pintu. Namun, saat Mike memberikan isyarat kepada sopir, yang mampu membaca perintah tak terucap itu, si sopir pun segera menutup pintu mobil, lalu memberikan kunci pada Mike.
“Mike?” tanya Desi bingung.
“Aku yang akan mengantarmu pulang,” ucap Mike singkat. Nada bicara yang ramah dan hangat tadi pun langsung berubah menjadi dingin, datar, dan tegas.
“Apa?” tanya Desi, memastikan.
“Telingamu masih berfungsi dengan baik, ‘kan? Aku bilang aku yang akan mengantarmu,” jawab Mike cepat, sambil membukakan pintu untuk Desi.
“Masuk!” perintah Mike singkat.
“Kamu yakin?” tanya Desi sekali lagi.
“Kamu mau pulang atau tidak?” tanya Mike kesal.
“Baiklah,” jawab Desi cepat sebelum masuk ke mobil.
Setelah pintu tertutup, Desi memperhatikan Mike yang melangkah cepat menuju pintu kemudi, membukanya, lalu duduk di belakang kemudi, dan bergegas menyalakan mesin mobil. Dalam waktu sekejap, mereka segera meninggalkan hotel.
“Emmm, by the way … terima kasih untuk tadi, ya,” ucap Desi saat mobil melewati gerbang hotel. Mike mengangguk cepat, sementara tatapannya lurus ke depan.
“You owe me that,” jawab Mike tipis.
Desi tidak terlalu menanggapi ucapan itu. Ia pun memutuskan untuk tidak berbicara lagi. Namun, baru lima belas menit perjalanan, Desi mulai merasa bosan dan penat karena suasana mobil yang begitu hening. Akhirnya, Desi memilih mengisi waktu dengan bermain permainan yang ada di ponsel. Setidaknya, ia bisa menghapus rasa jenuh.
“Kamu masih mengharapkannya?” tanya Mike tiba-tiba saat mereka sudah berada di jalan tol. Desi segera menoleh dan menatap Mike dengan raut bingung, sementara tatapan pria itu terus tertuju ke arah jalanan.
“Maksudmu?” tanya Desi balik.
“Aku rasa kamu tidak perlu mengharapkannya lagi,” ujar Mike sinis.
“Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan!” tolak Desi tegas, sedikit tersinggung. Mike tidak berhak menilainya sembarangan, karena pria itu tidak tahu seperti apa masa lalunya. Mike tidak tahu betapa beratnya ia untuk bisa melupakan Steve. Mike juga tidak tahu betapa kuatnya ia menahan diri untuk tidak berlari masuk ke dalam pelukan Steve tadi. Mike tidak tahu. Namun, ucapan Mike seakan-akan menunjukkan kalau pria itu tahu segalanya, yang malah membuat Desi sakit hati.
“Yes, I know!” jawab Mike singkat, membuat Desi geram.
“Tidak! Kamu sama sekali tidak tahu!” tegas Desi mencoba membela diri.
“Aku tahu kalau dia sudah melukaimu. Dan anehnya, kamu masih mengharapkannya setelah apa yang dia perbuat padamu,” jelas Mike lantang, hingga membuat Desi tercekat dan tertampar.
“B-bagaimana bisa kamu—“
“Tentu saja aku tahu,” potong Mike cepat, “semua terlihat jelas dari bagaimana caramu menatapnya. Bahkan, bahasa tubuhmu menunjukkan dengan jelas bahwa kamu masih menginginkannya.”
Desi terdiam mendengar penilaian Mike. Kalau Mike saja bisa melihat hal itu dengan sangat jelas, apakah Steve juga bisa? batin Desi gelisah.
“K-kamu salah,” tolak Desi pelan.
“Really?” balas Mike mengejek disusul dengusan sinis.
“Kamu tidak mengenalku dan tidak tahu apa-apa tentang diriku. Jadi, berhenti menganalisisku seakan kamu tahu siapa diriku!” tegas Desi disertai rasa perih di dada. Ia tidak menyukai penilaian Mike terhadap dirinya, meskipun Desi tahu bahwa tak ada satu pun yang salah dari ucapan pria itu.
“I know everything about you, Honey,” gumam Mike sinis.
“Terserah!” geram Desi cepat, lalu membuang muka ke arah jendela, dan mereka pun kembali terdiam. Perjalanan itu terasa begitu tegang. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir mereka berdua. Saat ini, mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
Ponselnya yang bergetar mengalihkan perhatian Desi dari luar jendela. Ia menatap beberapa pesan masuk di layar ponsel. Desi mulai membaca pesan itu satu per satu. Salah satu pesan masuk berasal dari bunda, yang selalu berisi nasihat agar Desi tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan dan bisa mencari pengganti Steve sesegera mungkin.
Membaca nama Steve di pesan itu membuat Desi sedih dan merasa bersalah. Karena, hingga saat ini ia belum bisa mewujudkan harapan orangtuanya yang begitu menginginkan dirinya untuk segera menikah dan membangun rumah tangga.
Desi menutup pesan dari bunda, lalu beralih ke pesan yang lain. Setelah membalas pesan satu per satu, Desi memasukkan ponsel ke tas kerja dan kembali menatap ke luar jendela. Perjalanan mereka terasa begitu canggung, tetapi Desi memilih untuk tetap diam dan menjaga jarak. Ya, lebih baik seperti ini, batinnya.
*****