A Hard Choice – BAB 1 – BAB 5

BAB 1

“Aku mencintaimu, Desi. Percayalah padaku.”

“Aku juga mencintaimu, Steve.”

Steve menatap Desi dengan penuh cinta sembari memeluknya erat. Desi menghirup dalam-dalam aroma tubuh Steve dan mulai terbuai dalam pelukan itu. Namun beberapa saat kemudian, ia merasakan pelukan itu perlahan-lahan merenggang. Desi mengangkat wajah dan menatap Steve dengan raut bingung.

“Steve, ada apa?” tanya Desi langsung. 

Pria itu tidak menjawab, malah berbalik membelakanginya, lalu melangkah menjauh. Desi berusaha mengikuti dari belakang sembari mempercepat langkahnya. Sementara Steve, terus berjalan menuju suatu tempat tanpa menghiraukannya sedikit pun.

Makin lama, Steve terasa makin jauh dari gapaiannya. Desi memutuskan untuk berlari sambil terus memanggil nama pria itu, tetapi Steve tak menoleh sedikit pun. Air mata putus asa yang mulai membasahi pipi, terasa begitu panas dan perih. 

Akhirnya, Steve berhenti di suatu tempat. Desi pun berhenti berlari tanpa melepaskan pandangannya dari punggung pria itu. Ia mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah selama beberapa saat, sambil berharap Steve menoleh dan menghampirinya. Berselang beberapa saat kemudian, Desi terbelalak menyaksikan kejadian yang membuat dunianya hancur.

Seorang wanita hadir di samping Steve. Pria itu segera menoleh, lalu membelai wajah si wanita dengan tatapan penuh cinta, begitu pun sebaliknya. Senyum manis dan hangat wanita itu tertuju pada Steve. 

Dada Desi terasa begitu sesak dan perih saat melihat Steve melingkarkan pelukan mesra di pinggang wanita itu. Desi benar-benar tidak percaya. Steve, pria yang ia cintai sepenuh hati, memeluk mesra seorang wanita tepat di hadapannya. 

“S-steve,” panggil Desi, lirih. Akhirnya, Steve menoleh dan berbalik menatap Desi. Namun, tatapannya begitu datar dan kosong.

“Siapa dia, Steve?” tanya Desi pelan, cemburu dan kecewa. Suara yang bergetar menahan tangis dan air mata yang mulai menggenang, menunjukkan betapa sakit perasaannya saat ini. Steve, yang tidak menjawab pertanyaannya, malah memasang raut tidak peduli.

“Apa maksudnya ini, Steve?” desak Desi menuntut penjelasan. 

Suaranya yang lemah pun berubah menjadi geraman. Bukannya menjawab, Steve malah menyunggingkan senyum tipis pada Desi. Wanita yang berada dalam pelukan pria itu pun terus melingkarkan tangan di pinggang Steve, berusaha menegaskan kepemilikannya.

“Aku tidak mencintaimu lagi, Desi!” jawab Steve, tegas.

Jawaban itu benar-benar menohok. Tanpa menunggu balasannya, Steve segera berbalik dan melangkah menjauh bersama wanita asing itu. Tangisan Desi pun meledak, sementara tatapannya tertuju pada dua sejoli yang perlahan-lahan menghilang dari pandangannya. 

“STEVE!” teriak Desi, putus asa.

*****

Desi terbangun dari mimpi buruknya. Sudah tiga tahun berlalu semenjak kejadian itu, tetapi perasaan hancur, kecewa, dan sakit hati masih bersemayam di dadanya hingga saat ini. Steve, pria yang begitu Desi puja dan harapkan, meninggalkannya tepat sebulan sebelum pernikahan mereka dilangsungkan.

Keringat mulai membasahi dahi, dan jantungnya pun berdebar sangat cepat. Desi memejamkan mata sejenak sambil memeluk tubuh erat-erat. Air mata yang menetes menunjukkan betapa pengkhianatan Steve benar-benar melukai batinnya.

Butuh beberapa menit lamanya bagi Desi untuk menenangkan dan menguatkan dirinya kembali. Setelah mampu menekan rasa perih di dada, Desi menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan sambil mengusap air mata. Aku harus kuat! batin Desi tegas, menguatkan dirinya.

Tak lama kemudian, ia turun dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu kamar, lalu membukanya. Desi berdiri sejenak di ambang pintu, sementara matanya meneliti keseluruhan rumah yang gelap karena ia selalu mematikan lampu setiap kali beranjak tidur. Pandangannya tertuju pada ruang TV yang menyatu dengan ruang makan dan dapur. Terdapat satu sofa minimalis yang menghadap langsung ke rak TV sederhana yang menempel di dinding berwarna putih. 

Sebuah partisi ruangan, yang berisi foto-foto dan beberapa hiasan keramik berukuran kecil, memisahkan ruang tamu dengan ruang TV. Di ruang tamu terdapat satu set sofa minimalis yang mengelilingi meja kopi berbentuk persegi panjang dengan sebuah vas kecil berisi bunga artifisial. Desi menyalakan lampu ruang TV, lalu melangkah menuju meja makan, kemudian duduk di kursinya. Embusan napas Desi terasa berat, seperti ada balok besar sedang menekan dadanya saat ini. 

Bagaimana tidak? Rumah ini seharusnya menjadi rumah impiannya bersama Steve. Mereka menabung bersama-sama, hingga akhirnya sanggup membeli rumah ini. Namun, semua yang sudah mereka rencanakan, hancur seketika saat Steve memutuskan pergi bersama wanita selingkuhannya.

Orangtua Steve—yang sangat kecewa dengan kelakuan anaknya—bersikeras agar Desi memiliki rumah ini sebagai tanda permintaan maaf. Tentu saja Desi menolak, tetapi ibu Steve terus memohon. Akhirnya, Desi memutuskan untuk mengembalikan sejumlah uang yang pria itu keluarkan saat membeli rumah ini. Semenjak itu, Desi membiarkan rumah ini kosong dan tinggal di kediaman orangtuanya. 

Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, orangtuanya mulai gencar memperkenalkan Desi kepada beberapa pria. Desi menolak, karena ia belum bisa melupakan trauma akan hancurnya sebuah hubungan. Namun, sepertinya mereka tidak peduli, bahkan makin giat mencarikan pendamping untuknya. 

Hampir setiap minggu, seorang pria asing datang ke rumah hanya untuk diperkenalkan kepadanya. Desi mengerti, orangtuanya khawatir dan berharap agar ia mau membuka hati serta melanjutkan hidup. Mereka bahkan terus meyakinkan Desi bahwa setelah menikah ia pasti bisa melupakan Steve dengan mudah. 

Mereka salah! Luka ini terlalu dalam. Tak mudah baginya untuk bisa kembali percaya pada pria. Jangankan untuk membuka hati dan mencoba membangun sebuah hubungan romantis, berkenalan dengan pria saja ia takut. Akhirnya, Desi memutuskan untuk pindah dari rumah orangtuanya dan tinggal di rumah ini, sendirian. 

Beberapa saat kemudian, Desi beranjak dari kursi dan berjalan menuju kabinet dapur. Ia mengambil gelas, mengisi dengan air putih, lalu meneguknya hingga tandas. Desi menatap pantulannya di jendela dapur selama sesaat, meratapi nasib dan usianya yang terus bertambah.

Tak ada yang tahu betapa hancur hatinya saat ini. Kepercayaannya pada pria pun bisa dikatakan sudah lenyap. Desi ingin lepas dari masa lalu itu, tetapi ia sendiri tidak yakin apakah dirinya mampu menghapus bayangan Steve dari pikirannya.

Langit masih gelap, tetapi matanya tidak lagi merasakan kantuk. Desi berbalik menuju sofa di ruang TV, lalu berbaring di sana. Dengan remote dalam genggaman, ia menyalakan TV dan mulai mencari tontonan yang menarik, tetapi tidak ada.

Helaan napas panjang disertai rasa hampa yang mendominasi perasaannya saat ini, membuat Desi memilih untuk mematikan TV. Ia pun mencoba memejamkan mata, berharap rasa kantuk itu kembali menghampiri. Namun, bayangan Steve dan masa lalunya yang menyakitkan, membuat pikiran Desi tidak bisa tenang. Akhirnya, ia membuka mata dan bangkit dari sofa. Ia memutuskan untuk menyibukkan pikiran dengan pekerjaan. Dengan perasaan lelah, ia membuka pintu ruang kerja yang berada tak jauh dari kamar tidurnya.

Setelah menyalakan lampu, Desi langsung menuju meja kerjanya. Desi duduk sejenak di kursi kerja sembari menunggu laptop yang baru saja ia nyalakan. Setelah tampilan layar menampilkan foto dirinya bersama kedua sahabatnya, Desi mulai membuka surel, dan pikirannya segera teralihkan.

Sebagai seorang wanita mandiri, Desi berhasil membangun event organizer bersama kedua sahabatnya, Maira dan Sasha. Usaha kecil ini sudah berjalan selama enam tahun, dan sekarang mereka memiliki beberapa klien ternama. 

Di awal berdirinya usaha, mereka menyewa sebuah ruang kantor di pusat Kota Jakarta. Namun, setelah kejadian yang menyakitkan itu, kedua sahabatnya memutuskan untuk memindahkan kantor ke rumah ini. Selain untuk menghemat pengeluaran, mereka beranggapan bahwa hanya ini cara yang tepat untuk menjaga dan mengawasi dirinya. Hal yang menguntungkan bagi Desi, karena ia tidak perlu keluar rumah selain untuk berbelanja, jalan-jalan ke mal, dan mengunjungi orangtua.

Desi termasuk wanita ulet, sedikit cerewet, dan agak judes. Dirinya yang termasuk tipe romantis, membuat Desi mudah sekali luluh akan hal-hal sepele. Ia juga gampang sekali meneteskan air mata. Bahkan, saat menonton drama romantis, Desi tak sungkan untuk menangis. Itulah mengapa sekarang ia menutup diri dari romantisme cinta. Bukan hanya karena takut merasakan kekecewaan lagi, tetapi Desi menyadari bahwa ia sulit sekali melupakan cinta yang sudah tertanam dalam hati.

Namun di balik semua kelemahan itu, Desi juga memiliki kelebihan yang selalu ia banggakan. Ketelitian dan kelihaiannya dalam mengatur anggaran, membuat Desi jadi kepala keuangan di perusahaan kecil mereka ini. Sedangkan Maira dan Sasha—yang memiliki sifat supel, aktif, dan periang—bertugas untuk bernegosiasi dengan klien serta mengatur setiap kegiatan di lapangan.

Minggu ini, mereka memiliki dua acara gathering dadakan. Desi mencatat jadwal tersebut di buku agenda sebelum lanjut membaca surel yang tersisa. Setelah memastikan tak ada satu pun surel yang terlewat, ia segera mematikan laptop, lalu merenggangkan tubuh sebelum beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan.

Tak terasa, sinar matahari mulai tampak dari balik tirai jendela. Desi memutuskan untuk mandi dan mempersiapkan diri agar bisa menjalani hari dengan perasaan segar. Ia pun bergegas masuk ke kamar, lalu melangkah menuju kamar mandi. Setelah menanggalkan pakaian tidur dan menyalakan keran air, ia melangkah masuk ke dalam bathtub. Ia berharap hangatnya air mampu meredam kesedihan dan menghapus mimpi buruk itu dari ingatannya.

*****

“Pagi, Cantik!” sapa Maira saat memasuki ruang kerja tepat pukul 09.00. Sasha, yang selalu tampil cantik dan menawan, sedang sibuk memperbaiki riasan di belakang meja kerja. Sementara, Desi masih mencoba melupakan mimpi buruknya sambil terus menatap layar laptop dengan tatapan kosong.

“Pagi!” sahut Sasha dan Desi bersamaan. Maira segera duduk di kursi dengan anggun, lalu menyalakan laptop. 

“Apa rencana kita minggu ini, Des?” tanya Sasha santai sambil meletakkan peralatan make up ke dalam tas, lalu mengibaskan rambutnya yang panjang dengan gerakan anggun. Mendengar pertanyaan itu, Desi segera mengalihkan pikiran ke pekerjaan.

“Ada dua gathering dadakan yang harus kita urus minggu ini. Yang pertama di hari Kamis, sementara yang satu lagi di hari Sabtu,” jelas Desi sambil membaca buku agenda yang ia letakkan tepat di samping laptop.

“Kamis? Serius lu?” tanya Sasha cepat sambil mengerut kesal. Desi mengangguk cepat, menjawab pertanyaan itu.

“Klien lama atau baru?” tanya Maira, tenang.

“Yang pertama, perusahaan lama. Sedangkan yang satu lagi, perusahaan baru. Sepertinya, yang satu ini dapat rekomendasi dari kolega mereka atau semacamnya. Gue kirim ke e-mail kalian untuk detailnya, ya,” jelas Desi, cepat. Ia pun segera mengirimkan surel kepada Maira dan Sasha, yang langsung membacanya di laptop masing-masing.

“Kebiasaan!” gerutu Sasha, “Perusahaan Dhirgan selalu menghubungi kita di detik-detik terakhir, deh!”

“Yah, mau bagaimana lagi? Ini ‘kan memang kerjaan kita, Sha,” balas Maira masih dengan sikap tenang, “biar gue yang handle Dhirgan. Lu tenang saja.”

“Oh, iya. Perusahaan Zyro … mereka dapat rekomendasi dari Pak Ryan pemilik Alaska. Jadi, sebisa mungkin kita kasih yang terbaik sama mereka. Jangan sampai mengecewakan!” ingat Desi sembari menyusun anggaran biaya awal untuk kedua perusahaan tersebut.

“Dhirgan minta acaranya diadakan di Hotel Luxury. Rencananya mereka mengundang seluruh karyawan mulai dari jajaran paling bawah hingga CEO. Sedangkan Zyro … mereka minta untuk meeting besok,” jelas Maira sembari membaca surel dengan saksama, sementara perhatian Desi masih tertuju pada barisan angka di layar laptop. Setelah memastikan perhitungan dasar yang biasanya mereka tawarkan pada Dhirgan, ia pun segera mengirim anggaran tersebut ke Maira.

“Bujet Dhirgan sudah gue kirim ke e-mail lu, Ra. Kalau ada yang kurang, kasih tahu, ya,” jelas Desi. Sasha segera memutar kursi ke arah papan kegiatan yang berada tepat di belakang meja kerja, dan memusatkan perhatian ke jadwal pertemuan di sana.

“Aduh! Besok gue ada meeting sama Pak Dani dari perusahaan farmasi, nih,” info Sasha yang disusul decakan kesal.

“Coba gue telepon dulu ke Zyro, siapa tahu bisa reschedule,” balas Maira, lalu mengangkat gagang telepon yang berada di samping laptop. Desi tidak terlalu mendengarkan apa yang kedua sahabatnya bicarakan. Ia terlalu sibuk mencari informasi tentang Zyro, yang ternyata merupakan sebuah perusahaan besar berskala internasional.

Perusahaan Zyro memiliki beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang properti, retail, keuangan, dan saham. Dari informasi yang Desi baca, perusahaan itu dimilik oleh seorang pria berdarah Amerika yang menikah dengan wanita Indonesia. Baru saja Desi ingin memperdalam informasi, decakan Maira yang disertai helaan napas panjang, langsung mengalihkan perhatiannya.

“Gimana, Ra?” tanya Sasha cepat setelah Maira meletakkan gagang telepon ke tempatnya.

“Mereka cuma punya waktu besok jam 2 siang. Gimana? Lu bisa, nggak?” tanya Maira ke Sasha.

“Ya, nggak bisalah! ‘Kan lu tahu kalau meeting sama Pak Dani bisa seharian. Mereka suka banyak permintaan, dan parahnya …, suka ngaret!” keluh Sasha seraya bersandar di sandaran kursi, lalu melipat kedua tangan di depan dada.

“Kenapa nggak lu saja, Ra?” saran Desi, santai.

“Gue?” tanya Maira balik.

“Memangnya kenapa?” balas Desi dengan raut polos.

“Besok gue ada meeting terakhir untuk persiapan gathering perusahaan Micro. Acaranya dua minggu lagi, loh. Lu lupa?” jelas Maira mencoba mengingatkan, “belum lagi gue harus urus Dhirgan.”

“Astaga, gue lupa! Maaf, Ra. Terus, siapa yang meeting ke Zyro?” tanya Desi, melemparkan pandangan ke arah Maira dan Sasha.

“Lu!” jawab kedua temannya serentak.

Desi langsung terdiam, wajahnya pun memucat seketika. Ia tak percaya kalau Sasha dan Maira sempat-sempatnya berpikir untuk menunjuk dirinya sebagai perwakilan EO ke perusahaan Zyro. Jelas sekali kalau ini bukanlah keahliannya. Bahkan, Desi sama sekali belum pernah bertemu dengan klien secara langsung, apalagi harus bernegosiasi, membicarakan konsep, dan memberikan ide.

No way!” tolak Desi cepat seraya menggeleng. Ia tak percaya dengan ide gila mereka. Ini sama saja seperti memasukkannya ke kandang singa. 

Maira dan Sasha pernah bercerita tentang beberapa klien nakal yang mencoba menggoda dan mengajak mereka untuk menemani pria-pria hidung belang. Mengingat cerita itu, Desi jadi takut jika hal tersebut menimpa dirinya. Lagi pula, ia sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakan saat bertemu dengan klien. Mungkin saja ia bisa mati mendadak, bahkan sebelum kakinya menyentuh lantai perusahaan itu.

“Kenapa?” tanya Sasha santai, lalu mengembalikan pandangan ke layar laptop dan sibuk mengetik di papan keyboard.

“Gila! Gue nggak tahu harus bicara apa nanti. ‘Kan kalian tahu kalau gue nggak bisa presentasi atau …, apalah itu,” protes Desi cepat. Maira tersenyum geli melihat rautnya yang panik. Siapa pun pasti bisa menangkap betapa besar rasa takut yang menyelimutinya saat ini.

“Tenang saja, Des. Tugas lu cuma mendengarkan dan mencatat apa yang mereka minta. Kalau lu punya ide bagus, lu tinggal ngomong saja,” jelas Maira santai, mencoba menenangkan Desi. 

Tidak! Ia tidak bisa tenang sekarang. Desi tahu bagaimana tak layaknya ia menjadi perwakilan EO. Bahkan, Desi bisa berpotensi besar mempermalukan nama baik perusahaan ini.

“I-ide?” ulang Desi gemetaran, “jangankan mikirin ide, bisa-bisa gue bakalan lupa siapa nama gue gara-gara ketakutan.”

“Berlebihan, ah! Sekarang saja lu lancar banget ngomongnya,” ledek Sasha tanpa menoleh sedikit pun ke arah Desi.

No. No. No! Definitely, no!” tolak Desi setegas mungkin, “ini bukan bidang gue, Ra!”

Desi melempar tatapan memohon pada Maira, berharap wanita itu mau berbaik hati untuk menggantikan dirinya. Namun, Maira malah tersenyum lembut, seakan-akan percaya bahwa dirinya sanggup menjalani tugas ini.

“Bukannya lu yang bilang kalau kita harus kasih yang terbaik?”

Celetukan Sasha yang disusul tawa jahil, membuat Desi makin gelisah. Sasha memang senang sekali menggodanya, tetapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda bagi Desi. Mendengar Sasha membalikkan ucapannya, Desi hanya bisa tertunduk malu. Tawa Sasha pun terhenti saat Maira berdeham dan beranjak dari kursi, lalu melangkah menghampiri meja kerja Desi sambil membawa beberapa lembar kertas.

“Ini,” ucap Maira seraya meletakkan kertas di meja Desi, “ikuti saja arahan yang gue tulis. Gue yakin, lu pasti bisa!”

Cara Maira berbicara menunjukkan bahwa wanita itu percaya kalau Desi mampu melakukan tugas ini dengan baik. Benar-benar berbanding terbalik dengan yang ia rasakan. Dengan terpaksa, ia mengangkat kertas tersebut dan membaca tulisan yang tertera di sana.

Pertanyaan, permintaan kliendan catatan penting’.

Terdapat tiga kolom yang sudah tercetak rapi di kertas paling atas. Sementara di kertas yang lain, terdapat beberapa pertanyaan penting yang harus ia berikan pada klien serta skema penyusunan suatu acara. Melihat rapi dan tersusunnya skema itu, Maira seolah-olah berniat mengubah persepsi Desi akan sulitnya mengurus gathering. Namun Desi yakin, mengurus kegiatan di lapangan tak semudah yang terlihat.

“Kalian yakin?” tanya Desi ragu,“bagaimana kalau nanti gue malah bikin malu perusahaan kita, Ra?”

“Lu pasti bisa, Des,” sahut Maira tenang. Sifat keibuan dan senyum hangat yang menghiasi wajah Maira, setidaknya mampu membangkitkan rasa percaya diri Desi, meskipun sedikit. Maira segera berbalik dan kembali ke meja kerja, sementara Desi menatap kertas di tangannya.

Ia membaca isi kertas itu berulang kali, berharap setiap kata yang tertera mampu tersimpan dengan baik dalam kepalanya. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang. Sehafal apa pun dirinya, Desi tidak yakin kalau dirinya adalah orang yang pantas untuk datang ke perusahaan Zyro.

Ingin sekali Desi mengusulkan untuk menolak gathering tersebut, tetapi itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Yang bisa Desi lakukan saat ini hanyalah memupuk rasa percaya dirinya sembari sesekali melirik ke arah Maira dan Sasha yang benar-benar mengandalkannya kali ini. Maka dari itu, Desi berharap ia mampu melewati ini dengan baik.

*****

BAB 2

Desi sudah mempersiapkan semuanya, baik diri maupun keberaniannya. Ia juga tidak lupa memasukkan kertas pemberian Maira ke tas laptop. Hari ini, Desi memilih kemeja biru langit berbahan lembut sebagai atasan, yang ditutupi blazer hitam lengan panjang, serta rok mini berwarna senada.

Rambutnya yang hitam, panjang, dan bergelombang halus, ia biarkan tergerai bebas. Riasan yang tidak terlalu mencolok dengan polesan bibir merah muda pun membuat dirinya tampil segar dan memesona. Desi berharap penampilannya ini mampu menutupi rasa takut dan gugup yang mungkin tampak jelas di wajahnya.

Desi memicingkan mata, menatap gedung yang menjulang tinggi dengan takjub. Gedung yang berlokasi di daerah Sudirman, terlihat megah dengan dinding-dinding kaca yang mengelilingi dan memantulkan cahaya matahari yang mulai terasa terik. Ia memberanikan diri untuk melangkah ke arah pintu masuk gedung dengan debaran jantung yang sangat cepat. Dalam tiap langkahnya, Desi terus berdoa dan berharap agar kliennya tidak bertanya hal-hal yang tidak ia mengerti.

“Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” sapa resepsionis, yang mengenakan seragam serba biru dan rambut yang tertata rapi, saat Desi menghampiri meja marmer berwarna hitam pekat berbentuk setengah lingkaran.

“Siang. Saya mau ke Perusahaan Zyro,” jawab Desi cepat.

“Bisa minta tanda pengenalnya, Bu?” pinta si resepsionis. Desi segera mengeluarkan KTP dari dompet, lalu memberikannya.

“Lantai 22 ya, Bu,” jelas resepsionis ramah sambil menyodorkan name tag berlogo ‘V’. Desi menerima name tag tersebut, lalu menjepitnya di kantong blazer. Setelah itu, ia langsung melangkah menuju lift dan menunggu sejenak bersama beberapa orang. Saat pintu terbuka, Desi langsung melangkah masuk tanpa berhenti berdoa.

Setelah menekan tombol 22, Desi memilih berdiri di paling belakang sembari mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tidak keruan. Sialnya, lift terasa bergerak begitu cepat. Meskipun berhenti di beberapa lantai, tetap saja tak memperlambat gerak lift yang malah membuat rasa gugupnya makin memuncak.

Akhirnya, ia pun tiba di lantai 22. Tangan dan kakinya terasa begitu dingin karena gugup. Desi melangkah keluar dari lift, lalu terdiam selama beberapa detik. Udara di tempat itu terasa sejuk, tetapi tetap saja tak bisa menghapus rasa gugupnya. 

Ingin rasanya ia berbalik dan membatalkan pertemuan ini. Namun, pintu lift yang bergerak menutup, seolah-olah menolak keinginan Desi. Ia pun terpaksa melangkah menuju meja resepsionis sambil terus meyakinkan dirinya bahwa ia mampu melakukan tugas ini.

“Siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis itu sambil menutup gagang telepon.

“S-saya … saya mau bertemu dengan Pak Doni. Saya Desi dari Belle Organizer,” jawab Desi sedikit tersendat sambil mencoba untuk tetap tenang meskipun tangannya sedingin es saat ini.

“Baik. Tunggu sebentar, Bu,” sahut resepsionis itu. 

Sambil menunggu si resepsionis berbicara dengan seseorang di balik telepon, Desi memperhatikan lukisan pemandangan laut yang menarik perhatiannya. Warna biru pekat yang berpadu dengan biru langit—warna kesukaannya—membuat perasaan Desi sedikit lebih tenang.

“Silakan duduk dulu, Bu. Sebentar lagi beliau akan datang,” ucap wanita itu, formal. Desi mengangguk sekilas, lalu berbalik dan duduk di sebuah sofa panjang berwarna merah terang yang sangat empuk.

Sembari menunggu, Desi mengeluarkan ponsel dari tas laptop dan menatap layarnya. Tak ada satu pun pesan atau telepon masuk. Ia kembali memasukkan ponsel ke tas, lalu mengeluarkan kertas yang Maira berikan. Sambil menunggu kedatangan Pak Doni, Desi membacanya sejenak.

Oh, God! Apa aku benar-benar bisa melakukan ini? pikirnya ragu. Desi berusaha keras menekan rasa gugup dan kembali membangun rasa percaya dirinya. Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tinggi, kurus, dan memakai seragam office boy mulai menghampiri dirinya. 

“Permisi, Bu. Pak Doni sudah menunggu di ruang meeting. Mari ikut saya, Bu,” ucapnya sopan. Desi langsung beranjak dari sofa dan mengikuti langkah pria itu. 

Mereka berjalan di koridor yang cukup panjang. Warna biru langit yang mendominasi koridor serta aroma segar yang memenuhi indra penciuman, membuat rasa gugupnya berangsur-angsur menghilang. Akhirnya, mereka tiba di depan pintu kaca yang ditutupi oleh stiker berbentuk gelombang air. Office boy itu pun segera membukakan pintu dan mempersilakan Desi masuk. 

Di dalam ruangan, terdapat seorang pria berkacamata sedang duduk dengan raut serius menatap layar laptop. Menyadari kedatangan Desi, pria itu pun segera berdiri, lalu menghampiri dan menyambutnya dengan senyum hangat. Sementara, si office boy segera menutup pintu, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan.

“Maaf sudah membuat Anda menunggu,” ucap pria itu sambil menjulurkan tangan ke arah Desi

“T-tidak apa-apa, Pak. Perkenalkan, saya Desi, perwakilan Belle Organizer,” kata Desi cukup lancar seraya menyambut jabatan tangan itu. Ia berusaha terlihat setenang mungkin, berharap agar pria itu tidak menangkap rasa gugupnya.

“Saya Doni, salah satu supervisi promosi di perusahaan ini,” balas pria itu, lalu melepaskan jabatan tangan mereka, kemudian mempersilakannya duduk. 

Desi memilih kursi yang berseberangan dengan Doni. Ia pun mulai mengeluarkan kertas pemberian Maira, agenda, dan laptop. Sementara, Doni mulai menyalakan proyektor yang langsung menampilkan gambar ke layar putih.

“Kita mulai saja, ya, Bu,” ucap Doni tenang.

“Maaf, Pak. Panggil nama saja, biar lebih santai bicaranya,” sahut Desi disertai senyum manis. Sesaat, Desi menangkap alis Doni yang terangkat sedikit, merespons ucapannya. 

“Hmm, OK. Kalau begitu panggil saya Doni saja, ya, Mbak,” balas Doni, tenang. Senyum lebar yang menghiasi wajah pria itu langsung membuat napas Desi tercekat. Doni kembali mengatur posisi duduk sebelum mengembalikan pandangan ke layar laptop. Desi berusaha memusatkan pikiran pada tugasnya dan menghapus rasa kaget yang sempat menghampiri akibat senyum lebar itu.

“Sebelumnya, saya mau minta maaf karena kami menghubungi pihak Mbak Desi secara mendadak. Masalahnya, acara ini baru direncanakan oleh pihak internal kami minggu lalu,” jelas Doni sambil sesekali melirik ke arah Desi.

“Tidak apa-apa, Mas. Kami justru senang. Sebuah kehormatan bagi kami bisa melayani perusahaan sebesar ini,” balas Desi ringan dan bersahabat.

“Baiklah. Mari kita mulai saja, ya,” lanjut Doni cepat, yang mendapat anggukan setuju dari Desi.

Selama rapat berlangsung, Desi memperhatikan setiap detail dan mencatat informasi penting yang Doni utarakan. Semua berjalan lancar. Rapat yang berlangsung sekitar tiga jam pun akhirnya berakhir. Ini tidak seperti yang aku takutkan, batin Desi riang.

“Baiklah, Mbak Desi. Sepertinya untuk acara hari Sabtu ini saya percayakan sepenuhnya ke Mbak, ya,” ucap Doni menutup pertemuan.

“Kami pasti akan berikan yang terbaik, Mas,” balas Desi penuh percaya diri. Ia mulai merapikan kertas, buku agenda, dan memasukkan laptop ke tas. Doni, yang baru saja mematikan proyektor, segera menutup laptop, lalu beranjak dari kursi. 

“Kalau ada yang kurang jelas, Mbak bisa telepon saya,” kata Doni seraya menyodorkan sebuah kartu nama. Terpampang jelas logo perusahaan yang begitu elegan di sudut kanan kartu. Nama pria itu tercetak dengan huruf timbul berwarna keemasan, terlihat mahal. 

Desi segera memasukkan kartu nama ke saku kecil, lalu menyampirkan tali tas di pundak. Doni, yang berjalan di depan Desi, segera membukakan pintu untuknya. Rasa lega pun menyelimuti Desi saat melangkah keluar dari ruangan itu. Ia tidak menyangka bahwa dirinya berhasil melewati pertemuan ini dengan baik.

“Emm, kalau ada waktu … kapan-kapan mungkin kita bisa makan malam atau minum kopi,” celetuk Doni saat mereka berjalan di koridor menuju ruang resepsionis. Ucapan itu melenyapkan rasa leganya dalam sekejap. Dada Desi tiba-tiba terasa sesak, sementara ia berpikir keras mencari kalimat yang tepat demi menolak ajakan itu.

“Bagaimana, Mbak?” tanya Doni, terkesan sedikit menuntut.

“Oh, itu … emm, n-nanti saya hubungi balik, ya, Mas,” jawab Desi gugup disertai senyum kaku. Bagi Desi, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan hal lain selain urusan pekerjaan. Akibat dari tawaran tersebut, Desi mulai menjaga jarak. Seakan-akan mengerti arti dari sikap diamnya, Doni tak mengungkit tawaran itu lagi. 

Mereka berdua berjalan dalam keadaan sunyi dan canggung. Setelah tiba di ruang resepsionis, Desi langsung mempercepat langkahnya. Ia ingin segera pergi dari tempat itu, menghilang di balik pintu lift, dan menjauh dari Doni.

“Sampai ketemu lagi, Mbak Desi. Kalau ada pertanyaan, telepon saya, ya,” ucap Doni hangat sambil mengulurkan tangan.

“B-baik, Mas,” jawab Desi singkat, lalu membalas jabatan itu, dan melepaskannya secepat mungkin. Tak ingin membangun percakapan lebih, Desi pun bergegas menuju lift, lalu menekan tombol beberapa kali, berharap pintu tersebut segera terbuka. Namun, entah mengapa pintu lift tidak terbuka juga. 

Jantung Desi berdegup kencang. Kali ini bukan karena gugup, tetapi karena takut. Ya, Desi takut jika seandainya Doni tiba-tiba menghampiri dan mencoba mendekatinya. Saat ini, ia belum siap menjalin hubungan atau membuka diri terhadap pria. 

Akhirnya, pintu lift terbuka. Desi bergegas masuk tanpa menoleh sedikit pun. Setelah menekan tombol menuju lantai dasar dan pintu bergerak menutup, barulah Desi bisa bernapas lega. Musik yang mengalun lembut di dalam lift, setidaknya mampu meredakan rasa paniknya. Lambat laun, debar jantungnya pun mulai tenang. 

Cukup sekali saja aku ketemu sama dia! gerutu Desi, lalu mengeluarkan ponsel dari tas dan mengetik pesan yang ia tujukan kepada Maira dan Sasha. 

‘Semua berjalan lancar. Sampai ketemu besok di kantor, Ladies!’

Setelah mengirim pesan, Desi kembali memasukkan ponsel ke tas. Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Desi tak menyadari bahwa ia tidak sendirian di dalam lift. Setelah menutup tas, Desi mengangkat wajah dan menatap pantulan dirinya bersama seorang pria yang berdiri tepat di samping.

Pria itu tampak gagah dengan tubuh tinggi dan tegap. Wajah maskulin dengan rambut tersisir rapi dan licin bak pemimpin gangster di film-film, membuat pria itu terlihat menarik, tetapi memiliki aura dominasi yang kuat. Jas dan celana bahan yang pria itu kenakan, melekat sempurna seperti dijahit khusus untuk tubuhnya. 

Akhirnya, Desi menoleh dan memperhatikan pria yang saat ini sedang sibuk mengetik sesuatu di ponsel, sementara tangan kirinya menjinjing tas kerja. Benar-benar terlihat sempurna seperti model papan atas, batin Desi kagum. 

Sedetik kemudian, Desi menangkap kening pria itu tiba-tiba mengerut dengan tatapan masih tertuju pada layar ponsel. Mungkin dia ada masalah, pikir Desi. 

Seolah-olah mampu merasakan tatapan menyelidik Desi, pria itu segera mengangkat wajah, lalu menoleh dan menatapnya tajam disertai satu alis terangkat, tanda tak suka. Desi langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Bahkan, memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dari tas, berusaha terlihat sibuk. 

Setelah merasa kalau pria itu tak menatapnya lagi, Desi menghela napas pelan dan mulai tenggelam dalam permainan di ponsel. Setibanya di lantai dasar, pintu lift mulai bergerak terbuka. Desi, yang bergegas melangkah keluar, tak menyadari kalau pria di sampingnya juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, tubuh besar dan kuat itu tidak sengaja menyenggol tubuh Desi hingga bahunya membentur pintu lift.

“Aww!” rintih Desi kesakitan.

Pria itu refleks menarik tangan Desi, menjauhkan dirinya dari beberapa orang yang ingin masuk ke lift. Namun, tarikan itu malah membuat tubuh Desi masuk ke dalam pelukan si pria asing. Dengan cepat, ia mendorong tubuh pria itu menjauh, lalu menatapnya dengan tatapan kesal.

“Maaf. Saya tidak sengaja. Apa Anda terluka?” ucap pria itu dengan suara berat dan cara bicara yang formal.

“Sudah, tidak apa-apa!” jawab Desi kesal sambil mengusap bahunya yang sakit, lalu berbalik dan menjauh dari lift, menuju meja resepsionis.

“Apa ada yang bisa saya lakukan? Mau saya antar ke dokter atau bagaimana?” tanya pria itu lagi sembari mengikuti langkah Desi dari belakang.

“Tidak perlu! Dikompres juga beres,” jawab Desi ketus. 

“Anda yakin tidak mau diperiksa dulu sama bagian kesehatan?” tanya pria itu lagi, yang membuat Desi berhenti melangkah.

“Aduh, Mas! Tenang saja, tidak apa-apa, kok! Saya cuma kedorong, bukan ketabrak mobil. Sudah, ya! Saya buru-buru,” sahut Desi kesal.

Desi bergegas menukar kartu pengunjung di meja resepsionis, lalu berlari kecil ke arah pintu keluar gedung. Tanpa ia sadari, pria asing itu terus memperhatikan Desi yang melangkah keluar. Senyum miring liar pun mulai menghiasi wajah tampannya.

*****

BAB 3

Desi keluar dari mobil, lalu menutup pintu dan menguncinya dengan remote control. Hari sudah sore saat ia tiba di rumahnya yang berada di tengah permukiman penduduk. Taman mungil di halaman depan memperindah bangunan minimalis yang didominasi warna biru dan putih. Sementara, pagar yang terbuat dari perpaduan kayu dan besi, memberikan perlindungan kokoh bagi rumah mungilnya.

Langit di atas kepalanya terlihat begitu gelap. Awan mendung pun sudah mulai berkumpul, dan cahaya kilat mulai menari-nari liar. Setelah mengunci gerbang, Desi bergegas menuju pintu rumah, lalu masuk dengan segera. 

Setibanya di dalam rumah, Desi segera menyalakan lampu yang langsung menyinari ruang tamu dan TV. Setelah mengunci pintu, Desi melangkah masuk ke kamar. Ia meletakkan tas kerja di tempat tidur, lalu melepas blazernya.

Dengan helaan napas lega, Desi merebahkan tubuh di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar, sementara ia mengingat kembali kejadian hari ini. Bagi seorang pemula, pertemuan tadi bisa dikatakan berjalan sangat lancar, kecuali responsnya terhadap ajakan Doni yang tiba-tiba. Entah Doni serius atau tidak, tetapi ajakan itu benar-benar merusak keberhasilannya hari ini.

Kencan? Hah … mungkin aku terlalu cepat menganggapnya sebagai ajakan kencan. Mungkin saja Doni hanya basa-basi, batin Desi lemah, mencoba menghapus kegelisahan yang menyelimuti sedari tadi.

Masih dalam keadaan berbaring, Desi merogoh tas kerja, lalu mengeluarkan ponsel. Ia langsung mencari nama Maira di daftar panggil, kemudian meneleponnya. Terdengar beberapa kali dering nada sambung sebelum akhirnya Maira menjawab panggilan itu.

Hai, Say!” jawab Maira ceria, “bagaimana rapatnya?

“Lancar,” jawab Desi, singkat dan datar sembari mengayun pelan kakinya yang menggantung di tepi tempat tidur. Entah apa yang Maira lakukan, atau berada di mana wanita itu sekarang. Namun, suara riuh yang menyelinap di kuping Desi menunjukkan kalau sahabatnya itu sedang berada di suatu tempat yang penuh dengan kerumunan orang. 

Ia bisa mendengar suara tawa beberapa orang yang cukup keras, yang membuatnya harus menjauhkan ponsel dari telinga. Desi terdiam cukup lama sambil mendengarkan Maira yang ikut tertawa. Ia berharap wanita itu menyadari bahwa dirinya sedang menelepon, karena Maira seperti melupakannya sesaat.

Ingin rasanya ia mengakhiri panggilan itu, tetapi Desi harus bercerita tentang kejadian hari ini. Ia butuh saran dan masukan dari Maira. Atau setidaknya, dukungan dari wanita itu bahwa ia sudah melakukan keputusan yang benar.

“Ra,” panggil Desi akhirnya, setelah menunggu beberapa detik.

Oh! Maaf, Des. Gue lagi kumpul sama keluarganya Ben,” jelas Maira merasa sedikit bersalah, “gimana tadi di sana?

“Lancar. Cuma ….” Desi terdiam sesaat, mencoba mengatur kalimat dengan benar.

Cuma apa? Apa ada masalah?” tanya Maira penasaran sembari berjalan menjauh dari keramaian. Desi bisa mendengar suara riuh itu makin lama makin menjauh, lalu berubah menjadi sunyi.

Ada apa, Des?” tanya Maira cepat, penuh perhatian.

“Begini … tadi gue ….” Desi menghentikan ucapannya lagi, yang disusul dengan embusan napas panjang.

Cerita, Des. Ada apa?” pinta Maira, lembut dan penuh kehangatan. Inilah yang membuat Desi tidak pernah malu ataupun takut untuk bertanya dan menceritakan keluh kesahnya pada Maira. 

Bagi Desi, Maira sudah seperti seorang kakak. Maira begitu hangat, lembut, penyayang, dan sangat dewasa. Maira selalu memberi nasihat yang tepat, terutama saat kejadian kelam itu menimpanya. Bahkan, Maira selalu mencurahkan kasih sayang yang melimpah dan membantunya bangkit dari keterpurukan.

Sedangkan Sasha, sifatnya sangat bertolak belakang dengan Maira. Wanita itu berjiwa bebas, supel, sedikit cerewet, terlalu santai dengan jalan hidupnya, dan periang. Itulah yang membuat Sasha selalu terlihat bahagia seperti hidup tanpa beban. Bahkan, Sasha selalu mampu menciptakan keceriaan di tengah keterpurukannya.

Akhir-akhir ini, Maira sedang sibuk mempersiapkan pernikahan dengan Ben. Sedangkan Sasha, yang memiliki sifat santai, sampai saat ini sama sekali belum berpikir untuk menikah. Bahkan, Sasha selalu menolak untuk menjalin hubungan serius dengan pria.

Sasha selalu mengatakan bahwa pria bukanlah prioritasnya. Bagi Sasha, pria hanyalah beban dan hambatan. No time for a man! Itulah moto yang selalu Sasha ucapkan setiap kali Maira mengingatkan wanita itu untuk memiliki kekasih.

Saat mengetahui kejadian yang menimpa dirinya, Sasha tak segan menunjukkan bagaimana bencinya wanita itu pada Steve. Sasha mencoba menanamkan moto tersebut pada Desi agar bisa melupakan Steve dan melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan itu. Namun, semua tak semudah yang diucapkan. Desi tidak mengerti mengapa hingga saat ini bayangan Steve masih saja muncul dalam mimpi. Entah karena ia terlalu mencintai pria itu, atau karena ia masih belum bisa menerima keputusan Steve yang pergi meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan, Desi juga tidak tahu.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Desi masih terus merindukan dan mengharapkan Steve. Begitu banyak kenangan indah yang mereka lalui bersama. Begitu erat hubungan dan perasaan yang terjalin selama mereka menjalin kasih. Itulah yang membuat Desi makin sulit melupakan sosok Steve. Bahkan, sesekali Desi berharap setidaknya pria itu menelepon atau mengiriminya pesan, meski sekadar menanyakan kabar. 

Namun, harapannya lenyap saat Sasha tak sengaja mengatakan kalau Steve akan menikah dengan wanita selingkuhannya beberapa bulan yang lalu. Bukannya mencoba untuk merelakan, Desi malah makin terpuruk dan terluka. Desi tidak bisa menerima kenyataan bahwa pria yang ia cintai dengan sepenuh hati akan menikah dengan wanita lain.

Tiga tahun. Ya, sudah tiga tahun berlalu, tetapi Desi belum bisa melupakan Steve. Jatuh cinta itu terkadang memang bisa menyakitkan, apalagi jika kita jatuh cinta pada orang yang salah. Dan, Desi selalu menyalahkan dirinya sendiri karena sudah jatuh cinta pada Steve.

Des, lu masih di situ, ‘kan?” tanya Maira lembut.

“Emm … maaf, Ra. Gue mau cerita sesuatu, tapi … kayaknya lu lagi sibuk, ya?” sahut Desi, merasa tidak enak karena sudah mengganggu Maira.

Nggak. Lu sama sekali nggak ganggu,” sahut Maira cepat, “ada apa?

“Begini … tadi, waktu selesai rapat, Doni … emm … maksud gue ada orang Zyro yang ngajak gue kencan. Eh, bukan, bukan! Maksud gue … dia nggak ngajak kencan secara langsung, sih. Tapi … dia ngajak makan malam atau semacam itulah,” cerita Desi gugup.

Terus? Jangan bilang lu nolak mentah-mentah,” tebak Maira.

“N-nggak. Gue nggak nolak, kok! M-maksud gue, nggak secara langsung, tapi …, gue juga nggak meng-iya-kan,” jawab Desi gelagapan setiap kali gugup atau ketakutan.

Kenapa nggak lu jawab ‘iya’ saja?” protes Maira, seakan-akan wanita itulah yang diajak kencan.

“Gue nggak bisa, Ra,” jawab Desi jujur.

Nggak bisa atau nggak mau?” tebak Maira cepat.

“Nggak bisa, Ra. I-ini … ini terlalu cepat. Gue takut,” jelas Desi lemah, berharap Maira mengerti posisi dan kerisauannya.

Takut atau emang lu masih kepikiran Steve?” tebak Maira lagi. Napasnya tercekat saat mendengar nama itu. Desi terdiam sejenak. Ia menyadari kalau ucapan Maira ada benarnya. Namun, entah mengapa ia terus menolak untuk jujur tentang hal itu.

Terus, mau sampai kapan, Des? Lu harus move on!” tuntut Maira tegas namun lembut.

“Nggak gitu, Ra. Gue … gue takut kalau hal itu terulang lagi,” aku Desi lemah. Dadanya perih saat pengkhianatan Steve kembali terlintas. Air mata pun mulai menggenang, sementara ia berusaha menahan isak tangis yang hampir melesat dari bibirnya.

Gue tahu, semua ini emang nggak mudah, Des. Tapi, kejadian itu sudah berlalu tiga tahun lamanya. Come on! Mau sampai kapan lu mikirin dia? Sebentar lagi dia mau nikah sama selingkuhannya, dan lu masih tetap nggak mau move on? Are you kidding me, Des?” tegur Maira dengan penuh kasih sayang.

“Bukan begitu, Ra. Gue cuma …, takut,” jawab Desi dengan isak tangis yang mulai mengiringi setiap ucapannya. Air mata yang menetes menunjukkan betapa dalam luka yang ia miliki. Desi memejamkan mata sejenak. Bayangan akan tatapan datar Steve saat ia memergoki pria itu berselingkuh, membuat rasa perih di dadanya terasa begitu menyiksa.

Gue tahu lu takut untuk memulai lagi. Tapi, bukan berarti lu terus menutup diri seperti ini, Des. Coba lu sesekali kencan, atau kalau nggak kenalan dulu, deh.

“Gue nggak minta lu buat langsung pacaran, tapi setidaknya lu bisa move on dan menikmati hidup, Des. Lu harus bisa lupain Steve. Harus! Dan, gue bakalan lakuin apa pun supaya lu bisa lupain dia. Apa pun!” ucap Maira tegas namun penuh kasih sayang sembari menekankan kata-katanya. 

Desi kembali terdiam dan mulai mencari tahu alasan di balik sulitnya ia untuk melangkah maju. Ia mengingat kembali masa lalunya. Hubungan mereka berjalan sangat baik. Tak pernah sedikit pun Steve menunjukkan sikap yang menyimpang. Steve begitu sempurna, begitu memahami dan benar-benar mencintainya. Namun, kesempurnaan itu lambat laun memudar ketika mereka mulai merencanakan pernikahan.

Tingkah laku Steve mulai berubah. Pria itu makin jarang mengabari. Bahkan, setiap kali Desi meminta untuk bertemu, Steve selalu saja mengatasnamakan pekerjaan demi menolak permintaannya. Hingga akhirnya, semua kebusukan Steve terungkap tanpa sengaja. 

Siang itu, ia melihat Steve merangkul mesra pinggang seorang wanita sembari melihat-lihat pakaian yang terpajang di salah satu toko. Perlakuan Steve yang begitu mesra dan tatapan penuh cinta yang tertuju pada wanita itu, membuat napas Desi tercekat. Ia pun memutuskan untuk memperhatikan mereka dari jarak yang cukup dekat. 

Steve tidak menyadari kehadirannya, karena terlalu sibuk melempar rayuan mesra dan membelai lembut rambut panjang wanita itu. Desi akui, wanita itu memang sangat cantik, elegan, dan menawan. Namun, semua itu tidak membenarkan perbuatan Steve terhadap dirinya.

Hati Desi hancur berkeping-keping, terutama saat Steve memperlakukan wanita itu dengan sikap memuja yang begitu menyesakkan. Karena sesungguhnya, Steve tidak pernah memperlakukan Desi seperti itu. Mereka memang sudah menjalin hubungan cukup lama, tetapi Steve selalu memperlakukan Desi layaknya seorang sahabat.

Awalnya, ia senang karena Steve selalu terbuka padanya, bahkan selalu ada setiap kali Desi membutuhkan pria itu. Steve juga selalu menghormati dan memperlakukannya dengan sopan. Tak pernah sekali pun Steve menunjukkan gairah berlebih, bahkan saat mereka berdua berciuman.

Namun, ketika Desi melihat betapa intens sentuhan dan hangatnya tatapan Steve pada wanita itu, saat itulah Desi sadar bahwa Steve tidak mencintai dirinya seperti ia mencintai pria itu. Desi merasa seperti wanita bodoh, karena mudah tenggelam dalam lautan romantisme yang ia ciptakan sendiri dalam kepalanya. 

Tak tahan dengan rasa sakit yang begitu menyesakkan dada, akhirnya Desi memanggil Steve yang langsung berbalik dan menatapnya. Wajah pria itu tampak terkejut, sementara wanita dalam pelukan Steve menatap Desi dengan raut bingung. Namun, yang membuat Desi marah dan kecewa adalah sikap Steve yang tampak tak berniat menjelaskan apa pun padanya.

Pria itu malah mengubah raut terkejut menjadi senyuman hangat, layaknya seorang sahabat. Desi benar-benar terpukul dan memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Sesampainya di rumah, Desi menceritakan kejadian tersebut kepada ayah dan bunda. Ayah, yang tidak bisa menerima anak perempuannya diperlakukan buruk, langsung menghubungi orangtua Steve.

Ayah menuntut penjelasan, tetapi orangtua Steve sendiri tidak mengetahui hal tersebut. Keesokan harinya, Desi mendapati kabar kalau ibu Steve masuk ICU karena serangan jantung. Meskipun Desi sedih mendengar kabar itu, ia tidak bisa memungkiri bahwa perselingkuhan Steve benar-benar menghancurkan hatinya lebih dari apa pun.

Semua memang sudah berlalu. Ya, Desi tahu itu. Ia pun tak mampu menuntut lebih karena lelah dan kecewa dengan keputusan Steve. Hingga detik ini, rasa sakit itu masih terus menghantui. Bukan hanya karena pengkhianatan dan batalnya pernikahan yang membuat Desi kecewa, tetapi juga karena hingga detik ini ia tidak tahu apa alasan di balik keputusan Steve. 

Desi merasa dirinya adalah seorang pecundang karena Steve meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Ya, itulah yang membuat Desi tak bisa melangkah maju. Karena, hingga detik ini ia masih terus mencari apa kekurangannya sampai Steve memutuskan untuk selingkuh.

Desi,” panggil Maira, membangunkan Desi dari lamunannya. 

Lu mau gue ke sana sekarang?” tanya Maira khawatir.

“Nggak, Ra. Nggak perlu. Gue baik-baik saja, kok,” jawab Desi lemah sembari menekan isak tangisnya.

Lu yakin?” tanya Maira tak percaya.

“Iya, Ra. Gue baik-baik saja, kok,” ulang Desi.

Ya, sudah. Lu istirahat saja dulu. Jangan mikir yang aneh-aneh lagi,” pesan Maira mencoba menenangkan perasaannya.

“Oke, Ra. Salam buat Ben, ya,” balas Desi pelan. 

Oke. Bye, Des,” sahut Maira lembut.

Bye, Ra,” balas Desi, lalu meletakkan ponsel di samping tubuhnya. Setelah mengembuskan napas panjang, ia beranjak dari tempat tidur, lalu melangkah menuju pintu kamar mandi yang berada tepat di samping lemari pakaian. 

Ia menyalakan keran bathtub, menuangkan sedikit bubble bath, lalu melepas baju yang sudah menempel di tubuhnya seharian. Saat bathtub sudah mulai penuh, ia pun segera masuk. Kehangatan air langsung menyentuh setiap jengkal tubuhnya.

Desi berendam sejenak, menikmati ketenangan sembari mengistirahatkan urat-urat sarafnya yang menegang karena lelah. Ia memejamkan mata, lalu memikirkan apa yang Maira ucapkan. Maira benar, sudah saatnya ia untuk melangkah maju dan mencoba membuka hati. Mungkin tidak secepat itu juga dirinya untuk jatuh cinta, tetapi setidaknya ia mau mencoba memberanikan diri untuk berkenalan dengan pria baru. 

Aku harus bisa! Aku harus kuat! batin Desi sembari menguatkan diri. Perlahan-lahan, perasaan tenang mulai menyelimuti tubuh dan pikiran. Bahkan, ia hampir tertidur dalam bathtub. Air yang mulai terasa dingin, membuat Desi tersadar. Ia pun segera berdiri dan melepas penyumbat air, lalu membilas tubuhnya dengan air bersih sebelum melangkah keluar dari bathtub.

Handuk putih yang tebal dan halus, melilit tubuhnya dengan sempurna. Desi berdiri di depan meja wastafel, lalu menyikat gigi sambil memandangi pantulan dirinya selama beberapa saat. 

Aku yakin, aku pasti bisa! Selamat tinggal masa lalu. Selamat tinggal, Steve. Meskipun sebenarnya aku masih mengharapkanmu, tapi kurasa semua cukup sampai di sini. Mulai detik ini, aku benar-benar akan melupakan dan menghilangkan bayang-bayangmu dari hidupku. 

Terima kasih untuk kisah indah yang pernah kamu berikan padaku. Terima kasih untuk semua pengalaman yang tak terlupakan. Selamat tinggal kenangan indah. Selamat tinggal masa lalu. Selamat tinggal Steve.

Desi segera menyudahi kegiatannya, lalu keluar dari kamar mandi. Malam ini, ia berniat untuk tidur lebih cepat setelah makan malam. Tidak! Ia tidak akan memikirkan Steve lagi. Tidak akan!

*****

BAB 4

Matahari mulai muncul di ufuk timur. Desi membuka mata, dan untuk pertama kalinya ia bangun dengan perasaan gembira, segar, serta penuh semangat, karena semalam ia tidak memimpikan kejadian kelam itu lagi. Desi meregangkan tubuh sejenak, lalu mengempaskan selimut ke samping, kemudian turun dari tempat tidur dan melangkah ringan menuju kamar mandi. Senandung riang mengisi ruangan saat Desi berendam, sebelum akhirnya ia membasuh tubuh, keramas, dan menyikat gigi.

Wajah Desi tampak berseri. Sinar matanya pun memancarkan semangat yang membara. Desi lupa kapan terakhir kali ia merasa seperti ini. Setelah mengeringkan tubuh, Desi segera mengenakan baju kerja. Meskipun kantor mereka berada di rumahnya, ia tetap menjaga profesionalisme kerja. Ia juga tidak lupa memoles riasan ringan di wajah. 

Senandung riang terus mengalun dari bibir Desi. Ia menikmati semangat dan rasa bahagia yang menyelimuti bak candu. Jam dinding menunjukkan pukul 07.00. Desi segera merapikan tempat tidur, mengambil ponsel di meja rias, lalu berjalan menuju dapur. 

Berniat sarapan, Desi mengeluarkan sekotak sereal dari lemari pendingin, lalu menaruhnya ke mangkuk. Setelah menuangkan sedikit susu, ia pun mulai menyantap sarapannya dengan tenang. Bunyi bip menandakan sebuah pesan masuk di ponsel, langsung mengalihkan perhatian Desi sejenak. 

Selamat pagi, Mbak Desi.
Untuk acara hari Sabtu ini, sepertinya ada yang beberapa perubahan.
Ada permintaan khusus dari Direksi. 
Aku tunggu di Zyro jam 11, ya, Mbak. 
Maaf mendadak, karena aku juga baru dikasih tahu sama asisten Direksi.’

Desi berhenti mengunyah setelah selesai membaca pesan itu. Meeting lagi? Ini benar-benar untuk kepentingan gathering atau hanya alasannya saja supaya bisa ketemuan? pikir Desi sedikit curiga. Tidak ingin menuduh sembarangan, ia pun segera menepis pikiran negatif itu, lalu membalas pesan dari Doni.

Selamat pagi, Mas Doni.
Jam 10 saya langsung meluncur ke sana.

Setelah mengirim pesan, Desi kembali melanjutkan sarapannya yang tertunda. Tak lama kemudian, ia segera beranjak dari kursi, lalu melangkah menuju wastafel dan mencuci peralatan makan. Sesudah meletakkan piring ke rak, ia membuka tirai jendela dan membiarkan cahaya matahari masuk menyinari rumah. Desi pun tak lupa untuk membuka pintu rumah dan membiarkan udara luar masuk memenuhi ruangan.

Waktu menunjukkan pukul 08.00, Desi langsung menuju ruang kerja dan menyalakan laptop, lalu memeriksa setiap surel yang masuk. Ada beberapa permintaan company profile dari perusahaan baru yang ingin menggunakan jasa EO mereka. Dengan segera, Desi mengirimkan company profile mereka dan draft penawaran harga kepada pemilik surel.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 08.30, terdengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Sedetik kemudian, menyusul suara Sasha yang tampaknya sedang kesal pada seseorang di balik ponsel.

“Baiklah. Setelah makan siang saya akan meluncur ke sana. Ya … baik. Ok!” ucap Sasha cepat sambil melangkah masuk ke ruang kerja. Setelah memutuskan panggilan, wanita itu langsung meletakkan tas kerja dengan entakkan kesal.

“Pagi, Des!” sapa Sasha sambil lalu tanpa menoleh ke arahnya. 

Wanita itu segera duduk di kursi kerja, sementara tangannya sibuk berkutat dengan ponsel. Beberapa saat kemudian, terdengar suara mobil lagi di luar sana, dan Desi tahu kalau itu adalah Maira. Suara hangat Maira yang mengucapkan salam perpisahan pada Ben terdengar begitu jelas. Dan seperti biasa, senyum manis serta aura ceria yang wanita itu miliki, membuat siapa pun merasakan kebahagiaan yang terpancar jelas di wajah cantiknya.

“Pagi semua!” sapa Maira saat memasuki ke ruangan. Wanita itu langsung meletakkan tas kerja di meja, lalu duduk di kursi dengan anggun.

“Hadeh! PR banget deh gue hari ini,” gerutu Sasha kesal dengan kening mengerut.

“Kenapa, Sha? Pagi-pagi udah kesal aja,” tanya Desi, ringan. 

“Ini, nih! Perusahaan farmasi nyebelin banget. Ada perubahan rundown acara, jadi siang ini gue terpaksa meeting lagi,” jawab Sasha disusul dengusan kesal, “padahal gue udah rencana mau kerjain yang lain.”

“Sama, gue juga,” sahut Desi, menimpali.

“Kenapa dengan Zyro? Ada masalah?” tanya Maira langsung. 

“Nggak tahu. Katanya ada perubahan, jadi sebentar lagi gue bakal cabut,” jawab Desi, tenang.

“Jadi, hari ini kantor kosong lagi, ya. Soalnya hari ini gue persiapan final untuk Dhirgan,” terang Maira, santai.

“Kalian punya kunci masing-masing, ‘kan. Jadi, nanti tolong kunci, ya. Soalnya gue harus berangkat jam 10,” kata Desi kepada mereka.

“OK!” jawab Maira dan Sasha bersamaan.

Mereka mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Maira memeriksa setiap keperluan untuk acara gathering Dhirgan. Sementara, Sasha kembali melakukan percakapan dengan pihak perusahaan farmasi melalui ponsel. Desi juga mulai sibuk menyusun beberapa perubahan dalam draft budget untuk Zyro agar sesuai dengan permintaan Doni kemarin.

Tak terasa, waktu pun cepat berlalu. Saat jarum jam menunjukkan pukul 09.45, Desi segera beranjak dari ruang kerja, lalu berbelok ke kamar tidur. Ia merapikan riasan, kemudian menguncir ekor kuda rambutnya dengan poni tertata rapi menutupi kening.

Riasan ringan dan tidak terlalu mencolok, tak memudarkan kecantikannya sedikit pun. Desi memilih untuk mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hijau muda dan berbahan lembut yang melekat sempurna di tubuhnya. Celana bahan berwarna hitam, membuatnya terlihat elegan dan sangat menarik. Sebelum keluar dari kamar, ia menyemprotkan sedikit parfum sebagai sentuhan terakhir, lalu melangkah dengan penuh percaya diri menuju ruang kerja.

“Wow! You look amazing!” puji Sasha yang terpesona melihat penampilan Desi.

“Sepertinya klien kita yang satu ini spesial, ya,” goda Maira sambil tersenyum kecil.

“Kalian ini ada-ada saja,”balas Desi geli seraya menggeleng, lalu mengambil tas kerjanya.

Bye, Ladies! Jangan lupa kunci rumah, ya,” pesan Desi sebelum meninggalkan ruangan.

Bye, Desi. Good luck!” seru kedua temannya, serentak.

*****

Perjalanannya menuju Zyro lumayan terhambat. Kemacetan di beberapa tempat membuatnya terlambat setengah jam. Desi pun segera menghubungi Doni saat di perjalanan, meminta maaf atas keterlambatannya.

Setibanya di parkiran basement, Desi langsung memarkirkan mobil dan merapikan riasan wajah sebelum keluar. Setelah memastikan dirinya tampil sempurna, Desi keluar dari mobil dan mengunci pintu. Ia melangkah cepat menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dasar sembari mengirim pesan pada Doni, mengabari kalau ia sudah tiba di parkiran. 

Ketika dirinya tiba di pintu masuk gedung, ia bergegas melangkah menuju meja resepsionis. Setelah menukar kartu pengenal dengan kartu pengunjung, Desi langsung menuju pintu lift. Beruntung, saat ini keadaan cukup sepi sehingga ia tidak perlu menunggu lebih lama ataupun berebutan masuk lift. Desi langsung menekan angka 22 saat berada di dalam lift, dan pintu pun bergerak menutup.

Wait!” teriak seorang pria yang berlari ke arahnya. Desi segera menekan tombol ‘buka’ untuk menahan pergerakan pintu, dan pria itu pun bergegas masuk.

Thank you,” ucap pria itu sedikit terengah-engah.

“Sama-sama,” jawab Desi ringan. 

Pintu lift bergerak menutup dan langsung membawa mereka naik ke lantai yang di tuju. Pria itu merapikan jas sebelum mengeluarkan ponsel dari saku celana dengan raut wajah kesal.

“Pecat sopir itu, sekarang!” tegas pria itu geram, lalu memutuskan panggilan begitu saja. Desi tersentak kaget mendengar ketegasan yang begitu mengancam dan otoriter. Namun, ia berusaha untuk tidak mencampuri urusan orang lain, lalu memilih bergeser satu langkah ke samping demi menjaga jarak dari pria itu.

Diam-diam, Desi memperhatikan pria itu dari pantulan pintu lift yang hampir menyerupai cermin besar. Pria itu terlihat tampan meskipun wajahnya sedikit tertunduk saat menatap layar ponsel. Desi yakin, pria itu mampu menaklukkan wanita hanya dengan sekali kedipan mata. Ya, sedahsyat itulah ketampanannya menurut penilaian Desi.

Mereka hanya berdua di lift. Desi bisa merasakan aura dominasi yang begitu kuat dari pria itu. Dengan tubuh tinggi sekitar 180 sentimeter, membuat Desi yang hanya tingginya 160 sentimeter, tampak kecil dan ringkih. Postur tegap atletis dengan jas yang tampak dijahit khusus untuk tubuhnya, membuat pria itu terlihat bak model papan atas. 

“Berengsek!” umpat pria itu tiba-tiba sebelum memasukkan ponsel ke saku celana, lalu mengangkat tangan yang lain, melihat sekilas jam tangan yang melingkar di pergelangan, kemudian berdecak kesal. Desi mengernyit kaget, lalu menoleh dan melemparkan tatapan kesal ke arah pria itu.

“Apa?” tanya pria itu menantang saat menyadari tatapannya.

“Kasar sekali!” tegur Desi, lalu mengalihkan perhatian ke arah lain.

“Maksudmu?” tanya pria itu, tidak merasa bersalah sama sekali.

“Itu. Bahasamu kasar banget,” jawab Desi jujur.

“Yang mana?” tanya pria itu sambil berpikir sejenak. 

“Oh …, berengsek?” ulang pria itu tenang.

Stop, please! aku tidak suka mendengarnya. Mudah sekali mulutmu mengucapkan kata-kata kasar seperti itu,” protes Desi kesal sambil menatap pria itu. Namun, ketampanan si pria bermulut kasar itu benar-benar menghipnotis Desi.

Garis rahang yang tegas, membuat wajah persegi itu terlihat maskulin dan bersih. Ya, bersih. Karena tak ada sedikit pun jenggot atau kumis di sana. Mata hitam pekat dengan alis tebal yang terukir sempurna makin mempertegas tajamnya tatapan yang pria itu tujukan pada Desi. Dan ia yakin, mata itu mampu membuat siapa pun merasa terancam.

Rambut berwarna cokelat tua, yang hampir mendekati warna hitam, dipangkas dengan model undercut sehingga mempertegas garis rahang pria itu. Dengan bantuan pomade, rambut yang disisir klimis ke belakang itu membuatnya tampak makin gagah dan maskulin, serta berbahaya. Sejujurnya, jika dinilai dari tampilan luar, pria itu benar-benar sempurna, tetapi tidak dengan ucapan dan sifat arogannya. Sebuah kenyataan yang menyadarkan Desi bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini, bahkan untuk pria tampan sekali pun.

Sorry, but this is me, and it’s none of your business,” balas pria itu dingin tanpa melepaskan tatapan tajam dari Desi. Ia memilih mundur selangkah demi menjaga keselamatannya dari pria itu. Sedetik kemudian, pria itu dengan santai mengalihkan pandangan dari Desi tanpa memedulikan tegurannya, lalu menekan angka 21. 

“Muka ganteng tapi mulutnya nggak banget!” gumam Desi ketus, tak peduli apakah pria itu mendengar ucapannya atau tidak. Pria itu kembali menoleh sambil memasang raut tidak terima, tetapi Desi tidak peduli. Matanya tertuju ke arah barisan tombol lift, berusaha terlihat tenang meskipun sejujurnya saat ini jantung Desi berdebar sangat cepat karena gugup dan takut.

Ia bisa merasakan bagaimana tatapan pria itu meneliti dirinya dari ujung rambut ke kaki. Beruntung sekali pintu lift segera terbuka ketika tiba di lantai 21, tepat saat pria itu berniat mendekatinya. Desi bahkan mendengar geraman kesal sebelum pria itu memutuskan untuk pergi. 

Desi mengembuskan napas lega saat pintu lift bergerak menutup. Ia berharap agar tidak bertemu dengan pria itu lagi. Pintu lift pun kembali terbuka saat tiba di lantai 22. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Desi bergegas menuju meja resepsionis.

“Selamat siang,” sapa resepsionis itu dengan ramah, “ada yang bisa saya bantu, Bu?”

“Saya sudah ada janji dengan Pak Doni,” jawabnya, “Desi dari Belle Organizer.”

Si resepsionis cantik itu langsung mengangkat gagang telepon, menekan beberapa tombol, lalu berbicara sebentar dengan seseorang di seberang sana. Beberapa detik kemudian, wanita itu menutup telepon dan mengatakan pada Desi agar menunggu sejenak. Desi duduk di sofa, lalu merapikan pakaiannya yang tidak berantakan, dan menghela napas beberapa kali demi menenangkan dirinya setelah kejadian di lift.

Bunyi derap kaki yang terdengar begitu halus karena teredam oleh karpet, membuat Desi menoleh ke arah datangnya suara. Pria berkacamata yang ditemuinya kemarin, menghampiri Desi dengan senyum lebar disertai tatapan hangat bersahabat. 

“Maaf sudah membuatmu menunggu,” ucap Doni sambil mengulurkan tangan.

“Saya yang seharusnya minta maaf, Mas,” balas Desi seraya menjabat tangan pria itu sejenak. Doni langsung melihat ke jam tangan, kemudian menyunggingkan senyum kecil ke arah Desi.

“Gimana kalau kita makan siang dulu? Mumpung lagi jam istirahat,” ajak Doni diiringi senyum lembut.

“Tapi … bukannya ada yang harus kita bahas untuk acar—”

“Tenang saja,” potong Doni santai, “kita bisa bicarakan itu nanti. Lagian, aku nggak bisa konsentrasi kerja kalau lapar.”

Desi mengangkat salah satu alis, membalas tatapan hangat Doni. Desi mencoba menimbang apa yang harus ia lakukan sekarang. Beberapa detik kemudian, ia mengembuskan napas kecil disusul senyum tipis.

“Baiklah,” jawab Desi tenang. Ia pikir mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk mencoba berkenalan dengan pria baru dan menerima kehadiran seseorang dalam kehidupannya.

*****

“Akhirnya, bisa makan juga,” kata Doni sebelum memasukkan sesendok nasi ke mulut. Doni duduk tepat di depan Desi, terlihat begitu bahagia dengan senyum yang terus menghiasi wajah pria itu.

Doni mengajaknya makan siang di salah satu tempat makan yang berada tidak jauh dari gedung perkantoran. Pria itu memesan sepiring nasi, seporsi iga bakar, dan semangkuk sop iga. Sedangkan Desi hanya memesan sepiring nasi dan seporsi sate ayam.

Sorry, nih. Tapi kamu nggak terpaksa untuk makan siang denganku, ‘kan?” tanya Doni sambil mengunyah. Pertanyaan yang terlambat, menurut Desi.

“Nggak masalah. Kebetulan saya juga belum makan siang,” balas Desi singkat disertai senyum masam. Ia berusaha untuk tidak terlalu banyak bicara dan mencoba menikmati makanannya. Desi memang sedang mencoba untuk membuka diri dan berharap usahanya ini mampu membangun hubungan pertemanan yang baik dengan pria untuk pertama kali. Namun, Doni tampak terlalu agresif. Hal itu terlihat jelas sekali dari setiap senyum yang pria itu tujukan padanya.

“Jangan pakai saya-Anda, dong! Formal banget,” ledek Doni halus. Desi bisa merasakan wajahnya mulai merona malu.

“Oh, maaf,” balas Desi singkat, mengerti maksud dari perkataan itu. Ia mencoba untuk mengikuti alur yang sedang berjalan saat ini, sembari menikmati makan siangnya. Desi, yang masih asyik mengunyah, cukup tercengang melihat bagaimana cepatnya Doni melahap makan siangnya.

“Wow! Makannya cepat juga, ya,” seru Desi santai, lalu meneguk es teh manis, sebelum kembali memasukkan sesendok makanan ke mulut.

“Makananmu enak?” tanya Doni ringan.

“Enak,” jawab Desi singkat.

“Kamu makan sedikit sekali. Diet, ya?” tanya Doni. 

Desi mengangkat alis, mengerutkan dahi sekilas, dan menatap Doni dengan tatapan datar. Desi tidak menyukai pertanyaan tersebut karena baginya seorang pria tidak perlu mengomentari banyak atau tidaknya makanan yang seorang wanita makan, dan langsung berpikiran kalau wanita tersebut sedang diet atau tidak. Terlebih lagi mereka baru saling kenal. Desi terpaksa menyembunyikan rasa kesalnya, lalu menyunggingkan senyum tipis. Namun, Doni tidak menyadari betapa kaku senyumannya.

“Nggak kok, aku memang sedikit makannya,” jawab Desi jujur.

“Oh, iya. Nanti ada yang marah nggak kalau kita makan siang berdua begini?” tanya Doni. Ia menanggapi pertanyaan tersebut dengan senyum masam, yang juga tidak dimengerti oleh Doni.

“Nggak, kok. Aku nggak punya pacar, jadi tenang saja,” jawab Desi lancar, masih berusaha menjaga sikap.

“Oh, ya? Masa, sih?” tanya Doni memastikan. 

“Iya. Beneran, kok,” jawab Desi. Doni tersenyum terlalu lebar, bahkan ia bisa melihat kelegaan di mata itu.

“Apa aku sudah bilang kalau kamu cantik?” tanya Doni, memajukan tubuh agar bisa melihat Desi lebih dekat, seakan-akan kacamata yang pria itu gunakan tidak berguna dengan baik.

Wajah Desi kembali merona. Sudah tiga tahun lamanya sejak terakhir kali seorang pria mengatakan dirinya cantik. Perut Desi pun kenyang seketika hanya karena pujian tersebut. Ia langsung mengangkat gelas dan meneguk es teh manis hingga tersisa sedikit.

“T-terima kasih,” jawab Desi gugup. Mereka terdiam sesaat dan suasana terasa begitu canggung.

“Aku … senang bisa makan siang sama kamu. Next time, aku mau ajak kamu makan di tempat yang lebih bagus. Boleh, ya?” ungkap Doni langsung, memecah keheningan yang terjadi selama beberapa detik, tetapi terasa begitu lama. Pria itu segera mengangkat tangan, memanggil pelayan untuk meminta tagihan.

“Oh, nggak apa-apa, Mas. Nggak masalah mau ajak aku makan di mana saja,” balas Desi cepat, lalu mengeluarkan dompet dari tas.

“Tunggu!” cegah Doni saat Desi mulai mengeluarkan uang dari dompet, “aku saja yang bayar.” 

“Tapi … aku nggak enak kalau begini,” ujar Desi jujur.

“Aku yang ngajak, jadi aku yang bayar,” balas Doni diiringi senyum lebar, lalu memberikan uang kepada pelayan. Baru saja si pelayan meninggalkan meja, ponsel Doni tiba-tiba berdering keras. Pria itu segera mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menjawabnya.

“Halo? Oh, baiklah … OK,” jawab Doni singkat, lalu menyudahi panggilan dan memasukkan ponsel ke saku celana.

“Sepertinya kita harus kembali ke kantor. Para manajer sudah menunggu untuk membicarakan acara hari Sabtu ini,” jelas Doni cepat.

“Manajer?” ulang Desi terkejut. Ia sama sekali tidak tahu kalau hari ini mereka akan meeting dengan para manajer.

“Sama owner juga,” sahut Doni santai, tak memedulikan raut panik Desi.

“Oh … OK. B-baiklah,” jawab Desi gugup.

*****

BAB 5

Saat tiba di depan meja resepsionis Perusahaan Zyro, Doni meminta Desi untuk menunggu sebentar, sementara pria itu menghilang di balik pintu kaca. Setelah beberapa saat menunggu, Doni muncul sembari membawa laptop, lalu mengajak Desi berjalan di koridor panjang.

Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pintu tersembunyi. Jika tidak ada plang nama serta sebuah intercom dan kunci elektrik yang tertanam di dinding, Desi tidak akan tahu kalau di balik sana terdapat sebuah ruangan. Doni menekan tombol intercom, dan suara tegas seorang pria langsung menjawabnya.

Siapa?” jawab pria di seberang sana.

“Doni, Pak. Dari Divisi Marketing,” jawab Doni, formal.

Terdengar bunyi ‘klik’, dan pintu pun terbuka sedikit. Doni segera mendorong pintu, lalu mempersilakan Desi masuk terlebih dahulu. Desi langsung melayangkan pandangan sekilas ke ruangan yang cukup besar itu.

Di sebelah kiri, terdapat sebuah meja berbentuk oval dengan beberapa kursi yang mengitari. Beberapa orang berpakaian rapi sudah mengisi kursi-kursi tersebut sembari melemparkan tatapan menyelidik ke arah Desi ketika dirinya berjalan di belakang Doni. Tepat di sebelah kiri meja oval, terdapat lemari berukuran besar berisi berbagai macam buku yang tersusun rapi serta barisan map tebal. 

Di sebelah kanan Desi, terdapat meja berbentuk persegi dengan sebuah vas bunga berisikan bunga tulip segar, dan satu set sofa hitam. Sedangkan di ujung ruangan terdapat meja kerja yang kokoh dan besar. Seorang pria bertubuh tinggi dan tegap, berdiri menatap ke luar dinding kaca sembari berbicara melalui ponsel. 

Setibanya di depan meja kerja, Doni tidak berbicara sedikit pun, menunggu sampai pria itu menyudahi panggilannya. Sementara, Desi menatap punggung dengan bahu bidang yang terlihat tak asing.

“Baiklah. Setelah ini, anak buah saya akan menuju ke sana,” ujar pria itu sebelum menyudahi percakapan dengan lawan bicaranya. 

Ketika pria itu berbalik, napas Desi langsung tercekat, tubuhnya membeku, dan jantungnya seolah-olah berhenti berdebar. Waktu pun seakan-akan berhenti berputar saat mata itu menatapnya tajam. Desi tidak tahu harus bersikap seperti apa, kecuali diam. Ia berharap semoga saja pria itu tidak mengingat dirinya. Namun, senyum miring liar nan menggoda itu menghapus harapan Desi dalam sekejap.

“Selamat siang, Pak. Ini Mbak Desi dari Belle Organizer yang akan mengurus gathering kita nanti,” ucap Doni, memperkenalkannya. Desi segera mengalihkan pandangan ke arah lain, karena pria itu sama sekali tak berhenti menatapnya. Sial! 

“OK. Mari kita mulai,” kata pria itu singkat sembari mengangkat salah satu alis saat berbicara, lalu berjalan menuju meja oval. Rasa gugup menyelimuti Desi saat berjalan di belakang Doni ketika mereka menuju kursi yang kosong.

Doni mempersilakan Desi untuk duduk, dan ia baru menyadari bahwa posisi kursinya berhadapan langsung dengan pria bermata tajam itu, yang ternyata masih terus mengamatinya. Desi berusaha bersikap tenang dan mencoba memusatkan perhatian pada rapat, sembari bertanya-tanya siapa pria itu sebenarnya. Suasana hening sejenak saat Doni menyalakan laptop yang langsung menampilkan sebuah gambar ke layar proyektor. Desi pun ikut menyalakan laptop demi mengalihkan pikiran dari pria yang masih saja menatapnya bak elang.

“Selamat siang saya ucapkan kepada para manajer dan Bapak Mike Larosky selaku owner dari Perusahaan Zyro,” ucap Doni membuka rapat itu. Desi merasakan dadanya sesak seketika saat mendengar kalimat pembuka Doni.

Mike Larosky? Owner? Really? batin Desi tidak percaya. Rasa malu dan gugup yang menyelimuti, membuat Desi spontan menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap Mike.

“Sesuai dengan rencana, gathering akan dilaksanakan pada hari Sabtu. Dan saat ini, sudah hadir salah satu dari pihak EO yang akan mengurus lancarnya acara tersebut,” lanjut Doni.

“Perkenalkan, ini Mbak Desi dari Belle Organizer yang direkomendasikan langsung oleh Bapak Larosky,” ucap Doni formal. Desi langsung mengangkat kepala, lalu melemparkan senyum kaku ke tiap-tiap orang yang ada di meja. Namun, tak sedikit pun Desi mengarahkan senyumnya kepada Mike, meskipun ia bisa merasakan tatapan pria itu menguncinya bak seekor singa yang sedang mengintai mangsa.

“Seperti yang kemarin saya laporkan kepada Bapak Rudi selaku manajer marketing, saya sudah memberitahu Mbak Desi semua keperluan untuk acara ini. Namun, karena ada beberapa perubahan dan, atas perintah dari Bapak Rudi juga, saya mengundang Mbak Desi agar dapat bergabung di pertemuan ini. Maka dari itu, saya serahkan rapat sepenuhnya kepada Bapak Rudi,” jelas Doni formal, lalu Bapak Rudi pun berdiri dan mengambil alih rapat.

Selama rapat berlangsungmereka semua memperhatikan penjelasan Pak Rudi. Desi mencatat perubahan-perubahan yang diminta. Meskipun dengan rasa malu dan takut, Desi sesekali melirik ke arah Mike. Ia pikir, pria itu masih menatapnya. Ternyata, Mike serius mendengarkan penjelasan, seakan-akan merekam semua dalam pikirannya. 

Desi kembali memusatkan perhatian pada pak Rudi, dan mengetik beberapa tambahan acara. Perubahan tempat pun diminta langsung oleh Mike. Seharusnya, acara dilaksanakan di Hotel Oscar, Jakarta. Namun, Mike meminta untuk memindahkannya ke salah satu hotel ternama di Bandung, yang merupakan salah satu milik pria itu.

Selain itu, Mike juga meminta agar acara dilaksanakan selama tiga hari, mulai dari Sabtu hingga Senin. Alasan, karena pria itu ingin mengadakan rapat internal di sela-sela acara gathering. Desi benar-benar terkejut dengan permintaan mendadak itu. 

Tak sengaja, Desi mengalihkan pandangan ke Mike, yang langsung menyunggingkan senyum miring padanya. Desi berusaha mengabaikan senyum itu, lalu kembali memusatkan perhatian pada layar laptop. Namun, permintaan Mike selanjutnya membuat Desi benar-benar tak berkutik.

Mike meminta secara langsung—tepat di depan semua peserta rapat—agar Desi yang mengurus acara ini, dan tidak mengalihkannya kepada yang lain. Entah apa yang pria itu inginkan darinya. Jika Mike ingin mengerjai Desi dan membuatnya jera karena sudah berani menegur pria itu di lift, Desi rasa hal ini sangatlah berlebihan.

“Baiklah. Saya rasa cukup sekian. Apa ada yang ingin ditambahkan, Pak Larosky?” tanya pak Rudi dengan nada formal.

“Tidak ada,” jawab Mike singkat.

“Baiklah. Sekarang kita bisa kembali ke meja masing-masing. Selamat sore,” ucap pak Rudi, mengakhiri rapat. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Sekarang sudah pukul 16.00, dan Desi sudah tidak sabar ingin segera pergi dari tempat ini. 

Desi menghela napas panjang, berusaha menghalau beban berat yang menekan dadanya sedari tadi. Dengan kesal, ia pun memasukkan laptop dan buku catatan ke tas sembari meratapi rencana akhir minggunya yang gagal karena permintaan aneh Mike. Meskipun pria itu memintanya untuk mengurus acara ini sendirian, Desi berniat menghubungi Maira atau Sasha untuk menggantikan posisinya. Setidaknya dengan begitu ia tidak perlu bertemu lagi dengan Mike.

“Jangan pergi! Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Mike memerintah sambil menunjuk ke arah Desi sebelum pria itu berbalik dan melangkah menuju meja besar.

“Aku?” tanya Desi ragu sekaligus bingung.

Yes! Just sit down,” pinta Mike datar.

Desi mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Ia melempar tatapan minta tolong pada Doni, tetapi pria itu tak mampu berbuat apa-apa kecuali tertunduk diam dan pergi meninggalkan Desi begitu saja. Dasar pengecut! gerutu Desi dalam hati.

“A-apa masih ada yang kurang, Pak?” tanya Desi formal. 

Saking gugupnya, Desi bisa merasakan suaranya bergetar saat berbicara. Mike tidak menjawab dan hanya mengangkat jari telunjuk, menyuruhnya diam. Pasrah, Desi pun kembali duduk di kursi sembari mendengus kecil.

Cukup lama ia memperhatikan Mike berkutat di balik layar laptop, sedangkan dirinya hanya bisa menunggu dalam diam. Suasana ruangan terasa begitu sunyi dan canggung, hanya terdengar suara jemari Mike yang menari-nari di keyboard laptop. Bosan, Desi mulai melempar pandangan ke sekeliling, memperhatikan kembali setiap sudut ruangan. 

Dalam keadaan diam tanpa melakukan kegiatan, waktu jadi terasa berjalan lama, padahal baru sepuluh menit berlalu sejak pria itu menyuruhnya menunggu. Desi mengembuskan napas kesal, lalu mengeluarkan ponsel dari tas, berniat mengirim pesan pada Maira. Baru saja ia mengetik kata ‘tolong gantiin’, kehadiran Mike yang tiba-tiba duduk di sampingnya, membuat Desi tersentak kaget. Saking terkejutnya, ponsel pun hampir tergelincir dari genggaman Desi. 

Oh, My God!” seru Desi kaget. Ia bergegas memasukkan ponsel ke tas, lalu menggeser kursinya sedikit menjauh demi menjaga jarak dari Mike. Keberadaan Mike yang begitu dekat membuatnya jadi salah tingkah.

“B-begini. Kalau ini tentang masalah di lift … a-aku minta maaf. A-aku tidak tahu ka—”

“Ini,” potong Mike cepat seraya meletakkan beberapa carik kertas di meja, lalu mendorongnya tepat ke hadapan Desi. Ia membaca isi kertas tersebut tanpa memegangnya. Walaupun mata Desi tertuju ke kertas, ia bisa menangkap pergerakan Mike dari sudut matanya. Pria itu menarik kursi agar lebih dekat, dan Desi kembali menggeser kursi agar bisa menjaga jarak dari Mike.

“Itu rundown acara dan list yang diperlukan untuk acara nanti,” jelas Mike datar, lalu bersandar di kursi.

“A-aku tahu. Tapi … ini untuk apa?” tanya Desi bingung.

“Aku tahu, kamu masih baru dalam hal ini. Aku akan membantumu,” potong Mike cepat, yang membuat Desi makin bingung.

“B-bagaimana kamu—“

I just know it,” potong Mike lagi.

“Bisakah kamu berhenti memotong setiap ucapanku?” protes Desi kesal pada Mike yang menatapnya tajam dan dingin.

“I-ini … kurasa kamu tidak perlu melakukan semua ini. Aku bisa mengerjakan semuanya dengan baik. Ini … ini adalah pekerjaanku!” tolak Desi berusaha terlihat tegas, lalu menggeser kertas-kertas tersebut ke hadapan Mike.

“Kamu menolaknya?” tanya Mike tipis, terdengar mengancam.

“B-bukan begitu … tapi, ini … ini …,” sanggah Desi yang mulai diserang oleh sifat buruknya. Gugup, gelagapan, takut, dan selalu tidak bisa berpikir jernih setiap kali tertekan.

“Ini apa?” tantang Mike dengan tatapan tajam seakan menunjukkan bahwa pria itu siap menerkamnya kapan pun Desi lengah. Desi terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Tangan dan kakinya pun mendadak sedingin es. Bukan karena suhu ruangan, tetapi karena gugup dan takut. 

“K-kenapa kamu melakukan ini?” tanya Desi ketakutan.

Desi tidak mengerti mengapa Mike mau merepotkan diri mengurus hal-hal seperti ini, yang semestinya menjadi tanggung jawab Desi. Bukannya langsung menjawab, Mike malah menarik kursi makin mendekat, lalu memajukan tubuh, kemudian mengangkat tangan dan mengarahkannya ke wajah Desi.

“A-apa yang—” 

Ucapan Desi terhenti saat Mike menangkup dagunya. Napas Desi terasa pendek karena gugup dan malu, sementara dahinya mengerut ketakutan. Melihat reaksinya, Mike malah tersenyum kecil yang membuat Desi makin bingung dengan jalan pikiran pria itu. Tatapan tajam Mike pun tiba-tiba berubah menjadi lebih tenang dan hangat.

“Apa kamu tahu kalau dirimu itu sangat menarik?” ungkap Mike parau. Mata Desi terbelalak mendengar kejujuran Mike.

I can kiss you, if you ask me to,” goda Mike, sementara ibu jarinya menekankan usapan lembut di bibir Desi. Gelenyar bak aliran listrik menjalar di sekujur tubuh Desi akibat sentuhan Mike. Tanpa pikir panjang, Desi langsung menepis tangan Mike yang malah membuat pria itu menyunggingkan senyum nakal. 

“Rapat sudah selesai!” ujar Desi ketus sambil menarik kertas-kertas itu dan memasukkannya begitu saja ke tas. Ia segera beranjak dari kursi, berniat untuk pergi. Namun, cengkeraman erat tangan Mike menahan pergerakannya dan menarik Desi hingga kembali terduduk di kursi.

“Hanya aku yang bisa menentukan kapan waktunya untuk memulai dan mengakhiri sesuatu!” tegas Mike seraya beranjak dari kursi, lalu membungkukkan tubuh. Wajah Mike terasa makin dekat sehingga ia bisa merasakan embusan napas pria itu di wajahnya. Kedua tangan Mike yang berada di kanan dan kiri sandaran tangan kursi, memenjara Desi dengan tepat.

“M-menyingkir … atau a-aku teriak!” ancam Desi dengan sisa-sisa keberanian dalam dirinya.

Do it! No one can hear you,” tantang Mike dengan senyum kecil, begitu mengancam dan mengerikan. Tangan kanan Mike kembali menangkup dagu Desi, lalu menengadahkan wajahnya. 

Desi tak berkutik. Tubuhnya sekaku batang kayu, sementara matanya mengunci bibir Mike yang bergerak makin lama makin dekat. Akhirnya, Desi memejamkan mata karena ketakutan, sambil terus mengatup bibirnya rapat-rapat.

Sore, Pak Larosky. Ada Nona Clarissa di ruang tunggu.”

Suara seseorang di intercom bagaikan lonceng penyelamat yang membuat Desi merasa sangat beruntung. Desi langsung membuka mata dan menangkap betapa dalam tatapan Mike saat ini. Mata itu sedikit menggelap, tampak liar dan penuh gairah. Cukup lama Mike menatap Desi hingga akhirnya pria itu memejamkan mata, menggigit bibir, lalu menggeram kesal. Tak lama kemudian, Mike akhirnya melepaskan cengkeraman dari dagu Desi.

Lucky girl,” bisik Mike sebelum menegakkan tubuh, tetapi mata itu terus menguncinya. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, pria itu melangkah menjauh dan kembali ke meja kerja. Desi bergegas beranjak dari kursi sambil memeluk tas di depan dada, lalu melangkah mundur perlahan-lahan menuju pintu. Menyadari pergerakannya, Mike langsung menekan tombol di bawah meja untuk membuka pintu ruangan.

Can’t wait to see you again,” ucap Mike santai disertai senyum simpul nan menggoda yang membuat Desi makin ketakutan. Tak ingin berlama-lama, Desi langsung berbalik dan melangkah cepat menuju pintu. Ia membuka pintu lebar-lebar, lalu menutupnya dengan cepat.

*****

Keranjang Belanja
error: Content is protected !!